pamit......

Hanya tersisa beberapa hari lagi, sejak surat pengunduran diri itu dikirim, saya selalu berusaha sedapat-dapatnya, menikmati detik demi detik hitungan mundur hari-hari terakhirku dikantor ini, Metro TV Biro Makassar. Rasanya banyak hal yang akan selalu tersimpan abadi disini. Teman-teman yang baik, tim yang kompak, penugasan-penugasan liputan yang memacu adrenalin, tidur di sofa ruang tengah karena kelelahan, dengan bonus segerombolan nyamuk kantor yang kadar hisapan darahnya menyaingi drakula. Atau hal-hal konyol lainnya seperti perang petasan beberapa malam yang lalu….
Saya selalu mengingat semuanya dalam tiga tahun ini, mulai dari dikejar-kejar warga di Poso saat liputan bom Tentena, terjebak pada perang kelompok di Sungai Saddang, diuber-uber mahasiswa fakultas teknik saat tawuran di Unhas, dua bulan dalam hiruk pikuk pilkada ditanah Papua serta petaka di depan kampus Universitas Cenderawasih.
Atau tentang perempuan-perempuan bercadar dan laki-laki bersorban di jalan-jalan kota Qum Iran, semalaman dibalut gerimis menanti detik-detik eksekusi mati Fabianus Tibo dkk, menembus desa-desa terisolir pada banjir bandang di kabupaten Sinjai dan Morewali, perburuan jejak jatuhnya pesawat Adam Air di belantara rangoan dan laut sulawesi, hingga indahnya kabut di Petirolemba pada suatu siang yang dingin.Ya, akan selalu saya kenang, melekat abadi dalam ingatan, sebab bagaimanapun juga, semua perjalanan yang telah banyak mengasah nurani itu dimulai dari “rumah” ini.
Ketika itu akhir Oktober 2004, saya selalu mengingatnya, bagaimana suasana suka cita diteras asrama Nuku malam itu, saat teman-teman se-asrama memintaku merayakan datangnya surat panggilan kerja dari Metro TV Jakarta, dengan “pesta” kecil-kecilan, meski hanya dengan beberapa minuman dingin dan cemilan dari uang terkahirku hari itu, tapi saya benar-benar bahagia, terharu, juga bangga, setidaknya ini adalah awal yang baik bagi saya untuk menjadi pribadi yang benar-benar mandiri. Sebab rasanya akan sangat bahagia, bila tidak lagi merepotkan ibu dan ayah dengan kewajiban membiayai hidupku di Makassar setiap bulannya.
Dan di penghujung Oktober 2007 ini pula, tiga tahun setelah “pesta” kecil-kecilan kami di teras Asrama Nuku itu, saya juga telah memutuskan untuk pergi dari “rumah” yang telah membesarkan saya. Semua ini bukanlah sesuatu yang saya putuskan dalam waktu singkat, saya mencoba untuk tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan ini, dengan banyak pertimbangan, masukan dari teman-teman sekerja, sahabat-sahabat, dan juga tentunya restu dari keluarga di rumah, sampai melalui goresan seorang Paulo Coelho, dalam Al Chemist :
“….Saat mengambil sebuah keputusan, berarti kita telah menceburkan diri ke dalam arus deras yang akan membawa kita ketempat-tempat yang tak pernah dibayangkan sebelumnya…..” .
Barangkali, keputusan ini akan membawa saya pada arus deras dari sebuah petualangan baru, semoga saja saya bisa melaluinya dengan baik, bekerja dengan baik, dan bisa menghasilkan sesuatu yang tidak hanya bernilai materi semata, namun sesuatu yang lebih memperkaya batin, sesuatu yang bisa bernilai ibadah nantinya.
Hanya tinggal berhitung hari, sebab itu saya ingin menyampaikan terima kasih dari hati yang paling dalam, untuk semua orang yang telah membuka pintu bagi proses belajar saya di tempat ini, kata-kata barangkali terlalu sunyi untuk menggambarkan seberapa besar rasa terima kasih ini.
Saya pamit………mohon doa restunya, semoga petualangan baru ini akan memberi banyak pelajaran berharga bagi setiap pencarian saya, untuk menjadi manusia yang jauh lebih baik…..

Makassar, 26 Oktober 2007 – 02 : 05 dini hari

angelina huet

Saya menarik tangannya dan mengajaknya duduk diatas kursi plastik itu. Sudah sangat larut, tidak tega rasanya melihat laki-laki paruh baya itu bersimpuh dihadapan kami, memohon bantuan untuk mecari ponakannya yang menghilang sejak lima hari terakhir.
Petrus Mbembok, laki-laki tua asal Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur itu, suaranya pelan, tersekat ditenggorokan, seperti berupaya menahan kesedihan, lalu dengan mata yang berkaca-kaca dia menuturkan kecemasannya tentang Angelina Huet, ponakan semata wayangnya, yang menghilang entah kemana.
Sudah lima hari ini Petrus terus mencari, berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kota makassar, bertanya disetiap kerumunan orang, apakah mereka pernah melihat seorang bocah perempuan usia 12 tahun, berkulit hitam manis, dengan rambut yang terurai panjang, memakai baju merah dan celana coklat setinggi lutut. Sampai kemudian dia merasa lelah dan singgah pada kami yang kebetulan nongkrong didepan pitu pagar kantor malam itu….
Kami memahami kecemasan Petrus, bagaimana jika hal yang sama menimpa kami. Apalagi ponakannya itu baru 4 bulan di Makassar, Angelina tentu belum terlalu paham dengan seluk beluk kota ini, apalagi dia masih terlalu kecil.
Petrus membawanya dari kampung di Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur, untuk disekolahkan di Makassar, karena sejak Ayahnya meninggal, Angelina nyaris tidak terurus lagi masa depannya, meskipun kondisi Petrus dan keluarganya juga pas-pasan hidup di Makassar. Bekerja sebagai karyawan rendahan disebuah hotel, dan tinggal disebuah rumah petak kecil yang ia kontrak di sebuah lorong sempit di jalan Batu Putih.
Saya, mas Andi Palaguna, dan Ari Cina, kami meminta Idul mengantar Petrus pulang kerumah, kasihan, laki-laki tua ini telah berjalan kaki terlalu jauh hingga selarut ini. Kami memintanya untuk tenang, dan berjanji untuk menemaninya ke kantor polisi besok, melaporkan kejadian ini, semoga aparat negara itu terketuk untuk membantu pencarian Anggelina Huet. Setidaknya bukan hanya gadis kecil Rasya, yang berita kehilanganya telah menjadi perhatian banyak pihak, bahkan presiden juga ikut campur mendesak polisi untuk menemukan Rasya. Sementara banyak kasus serupa yang hingga kini belum terselesaikan.
Saya sebenarnya sedikit cemas dengan keberadaan Anggelina, mengingat dalam dua bulan terakhir ini polisi di Makasar baru membongkar sindikat penjualan anak-anak yang diperdagangkan dengan nilai puluhan juta rupiah. Semoga gadis kecil itu baik-baik saja, dan bisa ditemukan kembali…..

Makassar, 25 Oktober 2007 – 11 : 35 wita

selamat idul fitri 1428 hijriah

Alangkah malangnya kita sebagai bangsa. Ribuan warga di Kediri Jawa Timur itu, berdesak-desakan berebut pembagian zakat senilai 20 ribu rupiah per orang, yang dibagikan oleh sebuah perusahan rokok di kota itu. Banyak diantara mereka yang jatuh pingsan, karena terjepit dan terinjak-injak, sebagian besar diantaranya adalah anak-anak yang ikut mengantri bersama orang tua mereka.
Beberapa waktu sebelumnya, ribuan warga yang antri pembagian sembako murah disejumlah kota, juga diwarnai aksi saling dorong dan desak desakan. Tidak sedikit diantara mereka yang pingsan, atau terjatuh diselokan ber-air.
Idul fitri 1428 hijriah tahun ini, hanya tinggal berhitung jam, tapi disejumlah terminal angkutan, pelabuhan-pelabuhan penyeberangan dan stasiun kereta api, ribuan penumpang masih menganntri berjam-jam untuk mendapatkan angkutan pulang ke kampung halamannya. Kondisi mereka juga tak kalah memprihatinkan, terhimpit diantara ribuan penumpang, dan pingsan karena kelelahan menunggu lamanya antrian.
Yang paling tragis, banyak juga diantara mereka yang meregang nyawa diperjalanan akibat tabrakan maut dijalur mudik yang padat. Padahal semestinya perjalanan ini, adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan harapan, untuk membagi kebahagiaan dengan keluarga tercinta dikampung halaman.
Miris, tetapi inilah wajah kita, wajah sebuah bangsa yang nyaris kehilangan tempat berpijak, akibat kerasnya persaingan hidup. Pemimpin-pemimpin kita seperti tak pernah belajar dari setiap petaka yang menimpa kita.

*****
Ramadhan telah sampai di penghujung waktu, selesailah sudah sebuah kesempatan besar yang diberikan Allah bagi kita untuk berintrospeksi diri, merenungi semua dosa, secara pribadi, ataupun dosa-dosa kita secara social. Untuk kemudian memperteguh niat kembali menjalani kehidupan yang jauh lebih bermartabat. Semoga kita masih dipertemukan dengan ramadhan tahun depan, tentunya dengan kondisi yang jauh lebih baik daripada sekarang…..
Minal aidzin walfaidzin…mohon maaf lahir dan batin……

Makassar, 12 Oktober 2007 – 04 : 20 dini hari…

“ah..saya sepertinya mulai lupa, bahwa ini adalah tahun ke sembilan lebaran tidak dirumah, saya rindu.....dengan suasana diruang tengah itu saat usai sholat idul fitri, juga rindu dengan ketupat dan ayam kecap buatan almarhumah ibu....”

terima kasih

Kemarin anak-anak dikantor ramai perang petasan, tak lama setelah buka puasa dan sholat magrib.Seisi kantor riuh dengan ledakan-ledakan kecil dan suara tawa anak-anak, kami semuanya tak terkecuali,mulai dari pak Edy security kantor, para kontributor,Ary Cina, Praka Idul, Chali, Uceng,Upi, Saya, dan juga mas Kabul.
Perang-perangan ini bahkan merambat sampai dijalanan depan kantor, tidak jelas yang mana kawan yang mana lawan, yang ada hanya saling menyerang dan melempar petasan. Paling lucu saat Chali dan Upi kulihat jatuh dengan tragisnya, berguling didepan pagar karena bertabrakan saat lari menghindari ledakan petasan..hehehe….
Kadang kami memang seperti ini, disela-sela penatnya liputan dan tekanan deadline yang menghimpit, hal-hal konyol seperti ini selalu menjadi hiburan pelepas ketegangan. Dan dikantor ini juga, pada waktu-waktu tertentu kami menjadi seperti prajurit yang selalu siap dan patuh pada perintah, seberapa berat sekalipun sebuah misi yang harus dituntaskan. Tapi pada saat-saat tertentu pula, kami tak ubahnya sekumpulan anak-anak yang melepaskan kegembiraannya dengan permainan-permainan.
Barangkali,hal seperti inilah yang selalu membuat kantor ini tidak menjadi hanya sekedar kantor, tapi juga selalu menjadi seperti rumah, menjadi sebuah tempat dimana kami akan selalu rindu untuk kembali pulang.....barangkali, ini juga yang membuatku merasa seperti memiliki sebuah keluarga kecil, like my second home.....saya bahagia, tapi juga sedih, barangkali karena kebersamaan saya di keluarga kecil Metro TV Biro Makassar ini hanya tinggal menghitung hari...

*****

Surat pengunduran diriku secara resmi telah diterima para petinggi di Jakarta, mereka sempat menyatakan ketidak relaannya dengan pengunduran diriku, tapi juga tidak tahu harus menahanku dengan cara apa. Sudah keputusanku untuk hijrah ke stasiun TV yang lain. Bukan sesuatu yang tergesa-gesa, untuk sampai pada keputusan ini, saya telah mempertimbangkan secara masak-masak, melalui sebuah masa perenungan yang cukup panjang.
Saya pindah, bukan karena kecewa dengan Metro TV, sama sekali tidak, justru sebaliknya saya banyak belajar dan mendapatkan kesempatan untuk berkembang hingga menjadi seperti sekarang ini. Bagaimanapun juga Metro TV, dalam tiga tahun terakhir ini telah menitipkan banyak kebanggaan bagi saya. Hanya saja, lepas dari semua itu, ada kesempatan yang lebih baik bagi saya untuk mencoba sebuah tantangan baru.
Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya, dan memberi penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada semua sahabat dan teman sekerja di Metro yang telah menjadi cahaya dari setiap proses saya menjadi seorang jurnalis yang lebih baik, terutama teman-teman seperjuanganku di Biro Makassar, untuk semua keakrabannya yang menghangatkan.
Dari semuanya, ada dua nama yang abadi bagi saya, Mas Kabul dan Bang Sudirman”Brur” Mustari. Untuk setiap detik dari proses panjang yang saya jalani di Metro TV tiga tahun ini, saya ingin menyampaikan terima kasih, untuk setiap pintu yang telah dibuka, juga untuk setiap tangga yang mereka bangun untuk saya…..

Makassar, 10 Oktober 2007 – 04:00 dini hari…..

satu lagi

satu lagi jejak hidup bertambah
tapi juga sekaligus berkurang
pada labirin panjang yang tak berujung
saya ingin berterima kasih untuk semua
yang selalu menjadi cahaya pada sunyi....

Makassar, 25 September 2007 - 00 : 00

va dove ti porta il evore

“Va dove ti porta il evore……
pergilan kemana hati membawamu...

Dan kelak disaat begitu banyak jalan terbentang dihadapanmu
Dan kau tak tahu jalan mana yang harus kau ambil
Janganlah memilih dengan asal saja, tapi duduklah dan tunggulah sesaat
Tariklah nafas dalam-dalam dengan penuh kepercayaan
Seperti kau bernafas dihari pertamamu di dunia ini
Jangan biarkan apapun mengalihkan perhatianmu
Tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi
Berdiam dirilah, tetap hening dan dengarkanlah hatimu
Lalu ketika hati itu bicara, beranjaklah
Dan pergilah kemana hati membawamu……

*****

Terima kasih untuk Susanna Tammaro, saya hanya mengenalmu lewat beberapa bait pada tulisan ini, tapi saat ini saya seperti berada pada sebuah persimpangan jalan, dan bingung kearah mana sebaiknya saya melanjutkan perjalanan ini.
Saya ingin seperti yang kau sarankan, berdiam barang sejenak, menarik nafas dalam-dalam dan mendengarkan suara hati…..lalu kemudian pergi, kemana hati akan membawaku…….
Makassar, 23 September 2007 – 15 : 03

robohnya masjid kami

“…….sekarang kita tak punya apa-apa lagi, yang tersisa hanyalah puing-puing dari kebodohan kita sendiri, sejarah kita telah mati….”

Pesan singkat lewat SMS itu, hanya bisa saya kirim ke beberapa teman di Tidore setelah saya tiba di Makassar. Sempitnya waktu dan kesibukan diantara kami membuat kami tak sempat duduk disatu meja, sekedar bercerita tentang perkembangan tanah kelahiran beberapa tahun terakhir ini, atau setidaknya bisa ngobrol sambil minum aer goraka di pelataran pasar Sarimalaha, seperti yang pernah kami lakukan beberapa waktu yang lalu. Padahal ketika itu, saya ingin sekali bisa bertemu, setidaknya untuk menyampaikan keprihatinanku tentang nasib mesjid kami yang dibongkar paksa itu.
Sampai saat ini, saya tak pernah tahu apa yang menjadi petimbangan mereka yang telah merobohkan mesjid tua itu, dan menggantinya dengan bangunan mesjid yang baru. Padahal itu adalah satu-satunya yang tersisa dari jejak sejarah masa lalu kesultanan Tidore. Sedih rasanya melihat bangunan bersejarah yang berusia ratusan tahun itu rata dengan tanah. Saya jadi teringat, beberapa tahun lalu, salah satu mesjid tertua di Indonesia yang ada di Toloa-Tidore, juga dirobohkan warga, dan diganti dengan bangunan yang baru.
Katanya mesjid sultan Tidore itu, salah satu tiang utamanya telah rapuh, makanya harus dibongkar dan dibangun yang baru, lalu entah siapa yang kemudian menjadi penentu keputusan membongkar mesjid bersejarah itu. Tapi yang pasti, kontraktor yang memenangkan tender rehabilitasi mesjid itu adalah anak sultan Tidore sendiri.
Benar-benar bodoh, padahal masih banyak cara yang bisa dilakukan selain dengan meratakan bangunan itu dengan tanah. Saya juga amat kesal dengan pemerintah di Tidore, kemana saja mereka saat setiap jengkal bangunan bersejarah itu dirobohkan, pemerintah di Tidore, juga sultan Tidore, sama saja bodohnya.
Tak jauh dari mesjid sultan itu, berdiri situs peninggalan dari sisa-sisa bangunan kedaton sultan Tidore, itu juga sudah rusak, situs-situsnya hancur oleh alat-alat berat yang menggali pondasi untuk replika kedaton sultan Tidore yang dibangun diatas tanah tersebut. Kenapa replika kedaton Sultan harus dibangun diatas situs bersejarah itu???. Tanah diluar wilayah situs itukan masih banyak yang kosong. Sisa-sisa bangunan kedaton sultan yang telah rata dengan tanah itu masih jauh lebih bernilai, dibanding replika yang bernilai milyaran rupiah tersebut.

*****
Dulu sekali, saat sultan Saidul Jehaad Muhammad El Mabus Amiruddinsya Kaicil Paparangan membangun jazerah Moloku Kie Raha dengan darah dan juga hunusan pedang kepada imperialisme asing, selalu saja ada penghianatan dari orang-orang kedaton yang silau dengan harta benda, yang rela menggadaikan harga diri, mengadaikan kedaton dan rakyat, demi sekeping emas gubernur jenderal Belanda di Ternate.
Saya mulai yakin, bahwa pada titik tertentu, sejarah selalu mengalami pengulangan-pengulangan, meski dengan cara yang berbeda, tapi dengan substansi yang tetap sama. Harga diri dan warisan masa lalu yang menjadi hak rakyat Tidore itu, hari ini juga digadai oleh “orang-orang dalam kedaton” sendiri. Lihat saja, kalau bukan karena tergiur dengan tender milyaran rupiah, tidak mungkin mereka tega merusak warisan masa lalu yang tidak ternilai itu…ah, barangkali ini pertanda bahwa sejarah kita memang telah usai, kita tak punya apa-apa lagi, selain puing-puing kebodohan kita sendiri……

Makassar, 10 September 2007 – 02 : 39 dini hari

pulang

Orang-orang sudah ramai di rumah saat saya tiba siang itu. Tenda pengantin di depan rumah sudah dipenuhi para undangan, jadi bingung juga harus masuk lewat mana, satu-satunya jalan masuk ke rumah ialah dengan melewati hadapan para undangan itu. Saya malu untuk melintas, apalagi dengan dandanan kayak orang baru turun gunung seperti ini.
Mestinya saya sudah di rumah sejak kemarin, tapi karena liputan bentrokan pendukung sultan Ternate, Mudaffar Syah, dengan aparat kepolisian, terkait pilkada Maluku Utara membuatku tertahan di Ternate untuk sementara. Sekarang saja untuk bisa sampe kerumah, saya harus minta kerelaan mas Bowo dan Burhan liputan tanpa saya. Hari ini adik bungsuku, Nana menikah, ini moment penting yang harus saya hadiri.
Orang-orang penuh diruang tengah itu, hanya dari balik jendela nako rumah kami, kulihat Nana, bersama calon suaminya, detik demi detik melewati setiap proses bagi kehidupan mereka yang benar-benar baru. Ah, si bungsu yang manja ini akhirnya menikah, sebuah fase baru dalam hidupnya yang menuntut kedewasaan dan kebijaksanaan.
Kami benar-benar diliputi kesedihan, saat acara sungkeman pengantin dengan seluruh anggota keluarga, saya sedih, ada yang kurang hari ini, adik bungsu yang kami sayangi ini melalui saat-saat penting dalam hidupnya tanpa disaksikan almarhumah ibu. Padahal sebelumnya Nana meminta supaya saya tetap bisa pulang pada hari pernikahannya, sesibuk apapun penugasan kantor, katanya tidak lengkap nantinya foto keluarga di hari bahagianya itu. Dia lupa barangkali, bahwa sepeninggal ibu, secara lahiriah, kita akan selalu tidak lengkap.
Rasa-rasanya waktu bergerak lebih cepat dari yang pernah terpikirkan, keluarga ini, saya benar-benar mencintai keluarga ini, bagi orang seperti saya yang membangun hidup jauh diperantauan, bisa pulang dan berkumpul dengan Ayah dan semua saudara, selalu saja menyibak nyibak rasa rinduku. Rapuhnya waktu memang membuat segalanya telah banyak berubah. Meski begitu rasa-rasanya kami selalu seperti dulu, seolah-olah tak ada yang berubah sedikitpun, kami seperti cinta yang tak pernah letih…..


Makassar, 2 September 2007 – 12 : 55 wita

kabut di petirolemba

Seperti berjalan melintasi awan, karena disekeliling hanya kabut yang menyelimuti.. Orang-orang menyebutnya Petirolemba, sebuah tempat di ketinggian, dimana kita akan selalu melihat lembah yang diselimuti kabut.
Jalanan yang kami lalui benar-benar berada dipuncak perbukitan, disekitar kecamatan Pamona Timur Sulawesi Tengah. Sepuluh jam perjalanan dengan jalur darat, dari kota Palu menuju Kolonodale kabupaten Morowali untuk berburu gambar peristiwa banjir dan longsor di Bungku Utara ketika itu, terasa amat melelahkan. Tapi kabut di Petirolemba siang itu, sedikit membunuh penat diperjalanan kami…Maha suci Allah, untuk semesta yang diciptakan sedemikian indahnya….

*****

Siang tadi, saat penat begitu menghimpit disepanjang jalan menuju kantor, saya tiba-tiba teringat dengan kabut di Petirolemba siang itu…
Kota ini semakin terasa sesak, diantara deru kendaraan yang membelah belantara beton ini, yang ada hanyalah kepulan asap dan panas yang membakar kepala…kenapa pembangunan begitu pelit untuk menyisakan sedikit ruang bagi pepohonan?.

Makassar, 20 Agustus 2007 – 20 : 44 wita

tanda

Ya Allah…berilah sedikit tanda..
Karena engkau mencintaiku..
dengan cara yang sulit kumengerti…

Makassar, 18 Agustus 2007 – 21 : 00 wita

batu rube

Jangan membuka mata terlalu lama, sebab seisi ruangan KRI Lambung Mangkurat yang bergerak naik turun itu akan membuatku semakin mual. Kata seorang anak buah kapal, ombak diluar mencapai ketinggian 3-4 meter, padahal kapal ini baru saja meninggalkan pelabuhan Kolonodale Morewali, dan masih sekitar 5 jam lagi untuk sampai di Batu Rube. Sementara saya, harus bisa terus bertahan dengan posisi seperti ini, duduk disofa dengan kaki terjulur diantara tumpukan barang, sambil terus memejamkan mata, biar tidak terlalu pusing dan mual. Kulihat mas Bowo, cameraperson Jakarta itu, juga melakukan hal yang sama, berupaya lelap meski sama sekali tidak mengantuk.
Rasanya lelah sekali, setelah sepuluh jam perjalanan darat dari Palu ke Kolonodale, kini masih terombang ambing dengan perut keroncongan. Kami tidak sempat cari makan saat tiba sore tadi di Kolonodale, gara-gara mengejar KRI Lambung Mangkurat yang akan segera berangkat. Sedikit khawatir juga, kalau maag ini kambuh lagi, sudah cukup di rasanya diopname 5 hari gara-gara sakit maag beberapa bulan yang lalu.
Sekitar pukul 10 malam kami tiba di perairan Batu Rube, nyaris tidak ada yang bisa terlihat di daratan, benar-benar gelap gulita. Persoalan lainnya adalah kapal-kapal besar seperti KRI tidak bisa merapat ke dermaga karena laut yang dangkal. Kami harus menunggu lagi, dan akhirnya baru bisa merapat ke daratan Batu Rube sekitar pukul 2 dini hari, setelah perahu-perahu kecil datang menjemput bantuan logistik dan relawan yang ikut bersama KRI Lambung Mangkurat.
Malam itu, suasana Batu Rube seperti perkampungan mati, gelap gulita, menurut warga listrik hanya menyala dari pukul 19:00-24:00, tapi sejak musibah banjir bandang dang longsor yang melanda daerah ini, sudah hampir sepekan, listrik di Batu Rube mati total akibat gardu PLN ikut terendam banjir Lumpur.

*****
Menuju ke Desa Boba, salah satu dari belasan desa terisolir dengan kerusakan yang cukup parah. Perjalanan ditempuh dengan speedboat, lalu dilanjutkan dengan 2 km jalan kaki melintasi rawa-rawa hutan bakau, lumayan bikin lecet kaki.
Desa berpenduduk sekitar 400 KK itu benar-benar sepi ditinggal warganya. Hampir separuh bagian desa hancur akibat terjangan banjir bandang dan tanah longsor. Ada sebuah sekolah dengan atap yang telah menyatu dengan tanah, disekitar sekolah yang kini menjadi hamparan tanah lapang berlumpur itu, dahulunya banyak sekali berdiri rumah-rumah warga, namun kini hilang tersapu banjir atau tertimbun longsor.
Bersama sejumlah personil Yonif 714 Sintuwu Maroso, kami sempat mengevakuasi 2 jenazah warga Boba yang tewas tertimbun longsor. Juga sempat mengevakuasi sejumlah pengungsi suku Wana yang lari meninggalkan rumah-rumah mereka di kawasan pegunungan setempat, salah satu diantara mereka dalam kondisi luka parah karena tidak mendapatkan perawatan medis selama seminggu.
Rasanya bencana di negeri ini datang tak putus-putusnya, barangkali kita harus lebih banyak menundukkan kepala. Seminggu liputan bencana di Batu Rube, saya kerap berpikir tentang orang-orang di desa-desa yang dilanda bencana di kawasan ini. Bagimana mereka harus menyusun lagi satu demi satu bangunan kehhidupannya, setelah semua yang diperjuangkan puluhan tahun lamanya tiba-tiba hilang, tak cukup dalam semalam.
Ah, keadilan dan kesejahteraan memang bukan milik orang-orang desa. Orang-orang kota merampok hutan dan merusak alam, lalu kedamaian kecil di desa-desa terpencil yang penuh kearifan ini musnah dalam sekejap.

Makassar, 4 Agustus 2007 – 19 : 20 wita

masa depan


Jika saja kita bisa membaca rahasia masa depan, barangkali tak ada yang harus dicemaskan. Sebab semuanya akan selalu dipersiapkan dengan baik, diantisipasi sedini mungkin. Tapi masa depan akan selalu menjadi rahasia abadi, sebab hidup bukanlah sebuah garis lurus yang sederhana…..
Aku pernah berpikir untuk tidak pernah menjadi dewasa, sebab ada semacam ketakutan, bahwa menjadi dewasa akan membuat hidup semakin keras dan rumit. Dan rasanya akan sangat bahagia jika selalu “menjadi anak-anak yang abadi”…
Jadi teringat masa-masa kecil dulu, rasanya begitu bebas, kami bermain apa saja, kemudian pulang kerumah dengat penat yang membungkus, lalu lelap dalam tidur untuk kemudian menyambut pagi yang benar-benar baru. Ketika itu, rasa-rasanya tak ada yang perlu dicemaskan…sebab bagi anak-anak seperti kami, bermain dan bergembira adalah tugas kami, masalah-masalah yang lain adalah urusan orang-orang dewasa. Segala kerumitan hidup adalah tugas dan tanggungjawab orang-orang dewasa….tugas kami adalah membuat masa kanak-kanak kami menjadi kenangan indah yang abadi…

*****
Belakangan ini hidup seperti bergerak tanpa kendali, kadang terlalu liar, seperti sampah yang terseret arus sungai, tak punya pilihan, selain pasrah mengikuti aliran air. Lalu pada saat-saat seperti ini, terkadang kecemasan itu datang mendera.
Tapi sudahlah, hidup bukanlah sesuatu yang harus selalu dicemaskan, tapi sebaliknya diperjuangkan dengan penuh keyakinan. Kecemasan hanya membuat masa depan tidak menyisakan harapan apa-apa. Padahal harapan-harapan atau cita-cita itulah yang mebuat manusia bisa bertahan melalui setiap krisis.
Sudah, setidanya saya merasa sudah lebih dari cukup dengan semua yang dimiliki saat ini. Secara materi barangkali tidak, tapi dalam tiga tahun terakhir ini, pekerjaan ini membawaku pada banyak peristiwa yang terus mengasah nurani….bahwa hidup adalah sesuatu yang harus lebih dihargai, dihormati, dan menjadikannya sesuatu yang jauh lebih berarti….

Makassar, 19 Juli 2007 – 09 : 50 wita

benang raja

Siang yang mendung, dipelataran gereja Maranatha Ambon, Kanjoly Jacky, bersama beberapa orang lainnya bercerita tentang riwayat RMS di tanah Maluku. Sahabat lama Alex Manuputty ini berujar, RMS dan juga Alex Manuputty, yang disebut-sebut para simpatisan RMS sebagai Paduka Raja tersebut sama sekali tidak punya pijakan yang kuat di bumi manise tersebut. Berbeda dengan gerakan separatis di Aceh dan Papua yang jauh lebih kuat struktur dan lobi politik internasionalnya. RMS sama sekali bukan apa-apa, hanya kendaraan rapuh para petualang-petualang politik asal Maluku di luar negeri untuk mencari simpati internasional agar mendapat suaka politik, dan terselamatkan dari status sebagai imigran gelap.
“para aktivis RMS yang melarikan diri di Belanda dan Amerika itu, mereka terpecah-pecah dan terbagi dalam ratusan faksi yang saling berseberang, tidak solid, dan tidak punya basis pendukung yang jelas. Bahkan terkadang mereka hanya datang dan berfoto didepan gedung PBB, lalu mengirim foto tersebut ke Indonesia sebagai bukti bahwa mereka telah berjuang” Ujar Jacky dengan dialek Ambonnya yang khas.
Perbincangan siang itu, sedikit memberi prespektif yang berbeda bagi saya dalam melihat gerakan separatis RMS di Maluku, semuanya tidak hanya berakar pada sejarah masa lalu, pada periode pasca perang kemerdekaan. Tapi juga terus berakumulasi, dan bahkan bermetamorfosis seiring dengan dinamika politik yang bergerak keras, apalagi ketika kerusuhan social bernuansa SARA pecah beberapa tahun silam, telah memantik api gerakan separatis tersebut menyala kembali. Termasuk didalamnya fakta tersembunyi tentang sebuah “proyek terselubung” yang sengaja dirancang sekelompok orang untuk meraup untung dari derasnya aliran dana pemulihan keamanan dan proyek rekonsiliasi social.
Kota ini telah banyak berubah, sejak terakhir kali saya singgah pada 1997 silam. Sepanjang perjalanan dari bandara Pattimura menuju kota Ambon, melihat sisa-sisa bangunan yang terbakar membuat saya sedikit mencoba membayangkan situasi antara tahun 1999-2000 itu. Kenangan hitam itu jelas masih sangat membekas pada setiap penduduk kota, tapi seiring waktu, satu demi satu setiap sisi kehidupan mulai mereka susun kembali, mencoba mencari ritme dan denyut nadi kehidupan yang pernah hilang.
Dari beberapa perbincangan dengan sejumlah orang, baik itu komunitas islam maupun Kristen, masyarakat di Ambon sedikit banyak telah belajar dari pengalaman kelam masa lalu. Terutama bagaimana membangun komunikasi antara mereka untuk meredam prasangka dan juga upaya-upaya adu domba…

****

Sebelum peristiwa memalukan itu, pada sebuah pagi gerimis dipenghujung Juni. Di pelosok pulau Haruku, Maluku. Anak-anak muda desa Aboru itu mulai berkemas, dengan parang dan salawako, sebab beberapa hari sebelumnya telah tersiar kabar bahwa sang Paduka Raja Alex Manuputty dengan sebuah kapal putih, bersama John Howard dan Gerge W Bush telah menepi di semenanjung Maluku. Hari kemerdekaan telah di depan mata, maka tarian cakalele pun dipentaskan oleh anak-anak muda Aboru, dan benang raja dibentangkan sebagai penyambutan..!!,

Makassar, 10 Juli 2007 – 19 : 30 wita

insomnia

Beberapa hari ini, sering tertidur di sofa kantor, kemudian terjaga pada tengah malam, lalu susah untuk terlelap sampai dini hari..Sebuah siklus yang kacau, seperti sesuatu yang sudah tidak pada orbitnya.
Ah, rasanya benar-benar lelah..ingin rasanya bisa sembunyi barang sejenak...
Sebenarnya apalagi yang harus dirisaukan? bukankah hidup adalah sesuatu yang harus di hargai, disyukuri, dan tentu saja membuatnya lebih berarti... bagi diri sendiri dan juga orang lain..

Makassar, 25 Juni 2007 - 03 : 48 dini hari...

debt collector

Dengan sangat menyesal semua kata-kata koleksi kebun binatang itu harus kuberikan gratis padanya, ya, tentu saja hanya kepadanya seorang. Ah, pagi yang baik..sayangnya harus diawali dengan sumpah serapah dan caci maki…maaf, sebenarnya saya gak bermaksud seperti itu…saya hanya gak rela diomelin untuk sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali denganku.
Pagi itu..ceritanya debt collector itu nyari seseorang dikantor yang belum membayar tagihan kartu kredit, kebetulan saya yang ngangkat telpon, trus kubilang kalo orang yang dia cari lagi keluar alias gak ada dikantor, eh, dia malah ngomel-ngomel ke saya, Lho..???, yang ngutang siapa yang diomelin siapa?????..
Makanya dengan penuh ikhlas semua koleksi kebun binatang kuberikan padanya pagi itu, “ Goblok banget ne orang !!!, dasar…..##**&&!!!!!!))(((@@^^^^***++!!! ”saya marah-marah kayak orang kesurupan, lalu kemudian membanting gagang telpon, laki-laki itu sepertinya emosi dan menelpon lagi, lalu kuberikan lagi semua koleksiku dari kandang, dan tetap diakhiri dengan gagang telpon yang dibanting…dia marah, dan menelpon lagi, kuberi lagi koleksi-koleksiku, dan tentunya tetap dengan gagang telpon yang dibanting setelah itu….lalu begitu seterusnya berulang-ulang, sampai kemudian dia lelah dan tidak menelpon lagi…
Soal kartu kredit, sebenarnya akan sangat membantu bila digunakan secara bijaksana, tapi bisa jadi awal yang buruk untuk hari-hari yang penuh terror, jika tunggakan mulai menumpuk dan sulit untuk dilunasi. Makanya meski mulut manis para marketing kartu kredit dari sejumlah bank kerap menggoda, sekuat mungkin saya berusaha menolaknya. Sebab untuk apa juga, punya banyak duit tapi dalam bentuk hutang yang bunganya berlipat-lipat….awal-awalnya seh terkesan menolong, tapi lama-kelamaan malah mencekik…
Saya sudah punya banyak pengalaman, melihat teman-temanku diuber-uber debt collector, kasian juga mereka. Tapi itu jelas konsekuensi yang meski ditanggung. Kalo udah berani ngutang, jelas harus berani juga buat membayar. Jangan sebaliknya, jagoan dalam urusan ngutang, tapi bandit dalam urusan membayar.
Pernah juga seorang teman dengan jumawanya memperlihatkan sekitar lima biji koleksi kartu kreditnya, dari berbagai bank ternama, dengan limit yang juga bujubune, dan tentu saja ujung-ujungnya disertai penjelasan tentang koleksi hutang-hutangnya yang naudzubillah.
Temanku itu, seperti gak punya beban sama sekali, terus terang saya gak abis pikir juga, mendengar penjelasannya tentang trik-trik menguras isi kartu. Dia sendiri bahkan mengaku, sudah belasan ataupun puluhan juta tagihan kartu kreditnya, tapi dengan modal konsep manajemen gali lubang tutup lubang dari kartu kredit yang satu dengan kartu kredit yang lain, sejauh ini temanku ini masih tetap berdiri tegak diatas hutang-hutangnya tersebut.
Walah, tapi sampai kapan dia bisa survive dengan konsep manajemen gali lubang tutup lubang itu, sementara hutang-hutang dan bunga-bunga kartu kredit akan terus bersemi, dan saya rasa, hanya sebuah peruntungan yang bisa menolongnya kelak…..
Bagiku, untuk bertarung dalam kerasnya hidup, sederhana saja prinsipnya ..seperti kata pepatah…”biar miskin asal selamat….: ).


Makassar, 16 Juni 2007 - 14 : 52 wita

pagi yang baru

Apa yang membuat pagi ini menjadi benar-benar berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya? Bagiku….Setiap pagi, mestinya harus membawa sesuatu yang baru, sebuah cita-cita, atau mungkin hanya sekedar sebuah rencana kecil untuk memulai kehidupan pada hari itu. Sebab bagaimana kita memulai sebuah pagi..barangkali seperti itu pula kita akan memulai kehidupan kita sendiri……
Aku merindukan pagi yang benar-benar baru, tidak seperti pagi-pagi belakangan ini..selalu penuh sesak..menghimpit dikepala…

Makassar, 6 Juni 2007 – 22 : 50

rumah

Sepi….hanya Ayah yang menyambut kedatanganku siang itu. Memang sepeninggal Ibu tiga tahun yang lalu, banyak hal yang telah berubah dirumah ini. Dalam kenanganku ketika itu, biasanya jika kami pulang saat libur kuliah, selalu saja ada masakan istimewa yang dimasak ibu, menyambut kedatangan kami….ah, barangkali Ibu berpikir, selama kuliah dirantau dan jadi anak kost, selain makan yang gak teratur, anak-anaknya mungkin jarang makan yang enak-enak.
Sekarang keadaannya benar-benar berbeda, dari kami berlima, yang tersisa dirumah menemani Ayah hanya si bungsu Nana dan abang On. Kesibukan mereka bekerja membuat mereka harus menyewa orang untuk memasak dan membersihkan rumah.
Secara fisik, rumah juga telah banyak berubah, akhirnya rumah kami benar-benar “utuh” sebagai sebuah rumah, tentunya setelah kami semua selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Sejak dulu, merampungkan pembangunan rumah ini selalu menjadi proritas yang kesekian dari Ayah dan Ibu, sebab mereka perlu memastikan terlebih dahulu, bahwa kami berlima bisa kuliah dengan baik…..
Sebelum pulang ke Tidore, suatu sore, pada obrolan rutin kami di kafe itu, seorang sahabat pernah bilang padaku ” Kita memang terkadang harus pergi Bud…, karena hanya dengan pergi kita dapat menakar arti pulang”.
Entahlah, seberapa besar aku bisa mengukur arti pulang dan juga pergiku saat ini, tapi senang rasanya bisa melihat rumah kembali, dan menemukan jejak-jejak waktu yang mengendap abadi disetiap sudut-sudutnya…


Makassar, 5 Mei 2007


“Sehari setelah aku sampai di Makassar…ada sms dari Abang On,
Ayah masuk rumah sakit lagi.., pusing dan terjatuh di kamar mandi…….”

pulang

Belakangan ini waktu seolah-olah menghimpit dari setiap sisi. Lalu saat penat mulai mendera, aku benar-benar ingin pulang, tapi bagaimana? Perasaan dalam delapan tahun terakhir, sejak mulai kuliah di makassar sampai detik ini, kata “pulang” seperti menjadi sesuatu yang nyaris tak terdefenisikan dengan baik. Kmar kost-itu misalnya, mestinya ia menjadi tempat “pulang” terdekatku, tapi sejak dulu, kamar itu tak lebih dari sekedar tempat penitipan barang. Sedang aku sendiri entah dimana….
Ada apa? aku juga tiba-tiba merasa kehilangan sesuatu, tapi seperti apa, …agak sulit untuk mendeskripsikannya, tapi kehilangan itu begitu terasa…
Hanya ingin pulang……terserah, kemanapun itu, pulang ke kerumah, pulang ke kost atau apalah namanya, setidaknya ada sebuah tempat untuk sejenak merebahkan badan dan menarik nafas panjang, sebuah tempat untuk sembunyi dari semuanya…….sungguh, tidak untuk menghindar, hanya sebentar, aku hanya ingin merapikan buku-buku di rak lemari, atau membenarkan letak foto-foto yang agak miring dari posisi yang seharusnya, atau hanya sekedar membersihkan kaca jendela yang mulai berdebu. Kalau boleh, aku juga ingin terlelap barang sejenak…….
Dan tentang pulang itu sendiri……, masih juga menjadi sesuatu yang jauh…hampir tiga tahun sejak ibu meninggal, padahal aku benar-benar rindu, seperti kerinduanku pada sofa coklat tua di ruang tengah itu, yang selalu ramai dengan perdebatan-perdebatan kecil kami, ya, kami berlima, almarhumah ibu, dan tentunya ayah, yang kerap menempatkan diri sebagai pemateri tunggal dalam obrolan kecil kami seusai makan malam…,
Ah.., rasanya sudah lama sekali, aku rindu, seperti kerinduanku pada foto di dinding kamar itu, kita berlima dengan seragam sekolah masing-masing. Aku selalu mengingat pagi itu, saat ayah mengabadikan kita lewat foto itu, sesaat sebelum berangkat sekolah
Kata ayah, sekarang ini suasana diruang tengah itu terkadang sangat sepi…, ya, aku tahu tentang itu. sebab selain si bungsu Nana, yang lainnya telah berkeluarga dan tinggal terpisah. Itupun Nana terlampau sibuk dengan pekerjaannya. Sepi tentunya bagi ayah, apalagi sepeninggal ibu, semuanya menjadi benar-benar berbeda… Semuanya hanya menjadi ramai kembali bila ponakan-ponakan kecilku yang lucu-lucu itu datang dan mengacak-ngacak ruang tengah itu…

Makassar, 26 Maret 2007

pagi

Setangkai asa tumbuh di dekat jendela kamarku pagi ini,
Hei, tunggu…jangan beranjak dulu…
kan kuselipkan ia dirambutmu…
biar menemani letihmu hari ini…..

makassar, 14 februari 2007

belantara rangoan

Pulang ke Makassar, setelah 22 hari mengejar-ngejar informasi pesawat adam Air yang jatuh di sekitar perairan selat Makassar…kondisiku benar-benar drop, semalam meriang nahan demam. Padahal sebelum berangkat liputan musibah ini, aku baru 3 hari kelaur dari rumah sakit, diopname karena maag yang akut.
Lumayan melelahkan, jadi inget waktu pertama kali live dari pegunungan di Matanga Polewali Mandar. Kemudian informasi sesat tentang keberadaan pesawat di wilayah tersebut, sampai namaku yang ikutan-ikutan nongol di milis soal kebohongan publik itu…
Meski semua media massa secara berjamaah menyiarkan informasi sesat itu, tapi sialnya hanya namaku yang disebut di milis itu, lumayan bikin gerah juga, sebenarnya aku pengen melakukan sedikit klarifikasi, bahwa semua yang aku informasikan berasal dari sumber-sumber resmi yang berkompeten untuk itu…..aku juga gak pernah nyebut-nyebut telah melihat pesawat dalam keadaan hancur dan sejumlah korban yang tengah dievakuasi, seperti yang telah dilakukan sebuah stasiun televisi swasta, ataupun siaran berita di sebuah stasiun radio milik pemerintah.
Sebenarnya aku agak heran juga ketika pertama kali memasuki pegunungan Matanga itu, perasaanku wartawan yang pertama kesitu adalah tim Metro TV, bersama Basarnas dan Kodim setempat. Saat kami tiba, sejumlah warga keluar rumah sambil menenteng radio, dan menyampaikan bahwa telah mendengar siaran berita pesawat Adam Air tersebut telah ditemukan di desa Rangoan Kec. Matanga, Polewali Mandar. 90 penumpang tewas dan 12 lainnya selamat. Lho..info darimana???,
Lalu sekonyong-konyong Jakarta menelpon dan mengabarkan telah ada pernyataan resmi dari Danlanud, Menhub. juga pihak Adam Air bahwa pesawat memang benar telah ditemukan di Matanga, lengkap dengan penjelasan rinci mengenai kondisi pesawat dan penumpangnnya.
Tak lama setelah itu iring-iringan kendaraan aparat serta belasan ambulans dan mobil pejabat mulai masuk ke Matanga. Apa yang harus aku informasikan dalam live pertama siang itu?, saat itu kami berada di desa Bulo, desa terakhir yang bisa tertangkap sinyal handphone. Dari desa Bulo ke desa Rangoan tempat yang dikabarkan mejadi lokasi jatuhnya pesawat tersebut, masih puluhan kilo meter lagi, gak ada akses informasi yang bisa aku terima mengenai pergerakan tim SAR didalam sana, yang ada adalah hanyalah informasi-informasi resmi dari pihak-pihak berkompeten.
Meski demikian, aku belum pikun untuk mengingat-ngingat materi liveku siang itu, aku bilang bahwa lokasi pegunungan Matanga ini telah dipastikan sebagai lokasi jatuhnya pesawat (tentunya berdasar sumber resmi), namun sampai saat ini tim SAR masih berupaya mencapai lokasi jatuhnya pesawat didesa Rangoan, akibat beratnya medan yang harus ditempuh. Amelia Ardan sempat bertanya tentang informasi 12 korban selamat dan 90 yang meninggal dunia, jawabku, kami belum bisa memastikan apa-apa soal itu, memang beredar juga informasi tersebut disini, tapi belum ada yang bisa dijelaskan mengingat tim SAR masih terus melakukan upaya evakuasi.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa aku berani menggunakan kalimat tim SAR tengah melakukan evakuasi dan bukan tim SAR masih melakukan pencarian?. Semuanya kembali pada sumber resmi pemerintah yang menyebutkan telah menemukan lokasi jatuhnya pesawat Adam Air, logikanya jika keberadaan pesawat telah diketahui, artinya, proses evakuasi pasti telah berlangsung, meski dalam skala yang lebih kecil. Jika saja aku punya akses informasi langsung ke tim SAR yang berada di Rangoan, pastilah semuanya akan berbeda. Jangankan handphone, radio HT saja gak bisa nembus…aku jelas memilih untuk peraya pada informasi pemerintah, sebab mereka pasti punya peralatan komunikasi yang lebih canggih untuk megetahui pergerakan tim SAR maupun aparat di Rangoan. Kabarnya, pejabat-pejabat pemerintah, terutama kepolisian yang terkait langsung dengan sesatnya informasi soal jatuhnya pesawat Adam Air di desa Rangoan Kec. Matanga Polewali Mandar itu akan segera dicopot dalam waktu dekat.

*****

Lalu…penemuan serpihan pesawat oleh warga di desa Logie kecamatan Mallusetasi kabupaten Barru oleh warga setempat, telah menyibat misteri hilangnya pesawat Adam Air tersebut, meski hingga saat ini keberadaan badan pesawat belum juga ditemukan. Tapi setidaknya penemuan-penemuan tersebut telah memberikan sedikit kepastian bagi keluarga korban yang lelah menanti hasil pencarian tersebut.
Serpihan-serpihan yang terkumpul di Koramil Mallusettasi itu, sebagian besar berada dalam kondisi remuk, seperti diremas-remas. Kursi-kursi, meja makan pesawat, dan potongan-potongan badan pesawat lainnya…..aku mencoba membayangkannya, saat-saat terakhir para penumpang dipesawat itu. Betapa kerdilnya manusia, betapa berkuasanya Allah atas segala sesuatu……….


Makassar, 23 Januari 2007

hmmm..susah banget

Hmmm..susah banget bisa cepat pulas belakangan ini, padahal konsekuensinya udah jelas..live pagi dengan menuai protes disana-sini, bahwa "matanya kok bengkak banget" atau " pasti gak mandi ya bud, minimal cuci muka..", atau..ah, susah juga, susah tidur, susah bangun, susah ngilangin efek mata bengkak, susah buang semua masalah-masalah yang gak bosan-bosannya ngejar-ngejar......
malam ini agak sentimentil, lagu-lagu di komputer ini lumayan bikin remuk, menambah kompleks semua yang udah kompleks. Duh..jadi makin rumit rasanya. Gak tau juga mau nulis apa..tapi pokoknya nulis saja....
Sudahlah..jangan terlalu dipikir, soal sesuatu yang tiba-tiba hilang itu, biarkan saja. Emang udah begitu, gak ada yang abadi..segala sesuatunya memang selalu seperti itu, datang dan pergi begitu saja. Dalam hidup, bukankah kita udah sering banget kehilangan sesuatu, kemudian kita bersedih karenanya..tapi setelah itu, selalu saja sesuatu yang baru berdatangan, kemudian hilang kembali ketika tiba saatnya, lalu datang lagi yang baru..kemudian pergi..dan begitu seterusnya...
Harus lebih bersyukur atas semua yang telah dimiliki, biasanya, sesuatu itu baru terasa penting saat kita telah kehilangan. Bisa berada di depan komputer dalam keadaan sehat walafiat dan mendengar lagu-lagu melankolis ini saja adalah sesuatu yang perlu untuk disyukuri, bayangkan jika malam ini, ternyata malah berada di rumah sakit, terbaring karena penyakit komplikasi yang gak kunjung sembuh ?.
Hmmm..sudah saatnya untuk istirahat, setidaknya dipaksakan untuk bisa lelap. Produser pagi udah nelpon, nanyain lead live pagi, jangan kesiangan, jangan bangun dengan mata bengkak..............

Makassar, 13 september 2006

hukuman mati


Apa yang sedang dipikirkan Tibo, Marinus dan Dominggus?, apa yang mereka rasakan?. Dalam derasnya hujan menghitung mundur waktu kematian, apakah mereka berpikir hujan akan membuat dingin peluru yang menembus jantung?. Aku selalu memikirkan tentang itu, mencoba mereka-reka apa yang ada dalam kepala seorang terpidana mati, saat menunggu datangnya detik-detik eksekusi.
Dari depan Lembaga Pemasyarakatan Petobo Palu, yang bisa aku lakukan hanyalah menunggu, meski sejak sore hingga tengah malam hujan terus mengguyur dengan derasnya…
Ibu Fitri, seorang petugas Lapas Petobo bercerita, malam itu, sekitar pukul 12 : 30, saat hujan deras telah menyisakan rintik-rintik. Sejumlah petugas Lapas menjemput para terpidana mati tersebut diruang isolasi mereka. Dominggus dan Marinus, mencengkeram erat jeruji besi penjara, dengan gemetar menarik nafas panjang yang terakhir kalinya, mengikat erat tali sepatu, kemudian keluar dengan tangan diborgol, tapi mata mereka tidak ditutup sama sekali.
Jumat dini hari, ditengah hujan rintik yang dingin, di kawasan bukit Soeharto Ngatabaru, disekitar markas kompi B Brimobda Sulawesi Tengah, sekitar pukul 01 : 30 dini hari, semuanya menjadi senyap di ujung peluru regu tembak Brimobda Sulawesi Tengah. Tak ada yang tahu, semuanya dilakukan dengan begitu rapi. Iringan-iringan kendaraan rantis dan ambulance yang menyeruak dari dalam Lapas Petobo tengah malam itu, hanya kamuflase, untuk mengecoh para wartawan yang telah menunggu sejak pagi di depan Lapas. Kenyataannya, Tibo, Marinus dan Dominggus, dibawa keluar dengan menjebol pagar belakang Lapas.
Kemarin, di perjalanan pulang ke Makassar, sepanjang jalan diluar kota Poso hingga Tentena dan sekitarnya. Rumah-rumah mengibarkan bendera merah putih setengah tiang, tanda duka untuk eksekusi bagi ketiga terpidana mati kerusuhan Poso itu. Disaat yang sama para keluarga korban kerusuhan Poso juga menyatakan kepuasan mereka atas hukuman mati tersebut. Hukum memang selalu menemukan jalannya sendiri, tapi orang-orang akan selalu melihat kebenaran dari banyak sisi, dari sudut pandang masing-masing…..

Makassar, 26 September 2006 – 10 : 39 wita

kota para mullah


Aku akhirnya sampai di kota ini, bagi orang seperti aku, hanya sebuah keberuntungan dari sempitnya kesempatan yang dapat membawaku kesini. Seorang sahabat pernah berkata “Datanglah ke kota kami, dimana kami belajar dan mendalami ilmu. Barangkali engkau akan menemukan wajah kami yang sesungguhnya di sana. Kami masih setia menjaga tradisi ke Islaman kami…”
Ini adalah kota para Mullah, jika ingin melihat Iran yang “sesungguhnya”..datanglah di kota ini, Qum, kota dimana tradisi keislaman dan keilmuan masih terjaga dengan baik, setidaknya aku merasakan susana seperti itu disini, seperti ketika kulihat perempuan-perempuan bercadar dan berjilbab besar, dan pria-pria bersorban di jalan-jalan kota.
Kami mampir di Universitas Imam Khomeini, dan dipintu masuk Universitas itu sebuah keset kaki bergambar bendera Israel tergeletak dengan lucunya. Sementara pada tembok universitas bendera Palestina terpanjang dengan anggunnya. Didalam kampus, kerumunan mahasiswa berkumpul pada sebuah stand kecil yang memamerkan foto-foto perjuangan bangsa Palestina dan menampilkan video-video jihad. Juga perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan kitab-kitab. Sayang aku tak bisa terlalu leluasa mengambil gambar di lingkungan universitas ini, karena larangan dari pihak kampus.
Semalam aku di“culik” sama Juliadi dan Nur, dua anak Makassar yang belajar di Qum-Iran. Pertemuan tak terduga di KBRI di Tehran itu telah membawaku ke kota ini, hanya sekitar 200 km dari Ibu Kota Tehran, atau sekitar 2 jam perjalanan darat. Meski sebelumnya KBRI telah mewanti-wanti agar para jurnalis yang ikut dalam rombongan misi kebudayaan dan pariwisata Indonesia di Iran ini, tidak meliput hal-hal lain diluar kegiatan delegasi. Tapi alhamdulilah, dengan sukses aku bisa melanggar larangan-larangan itu hehehe…,jauh-jauh ke Iran, aku tak mau hanya bisa meliput pagelaran kesenian Indonesia.
Di kota ini, ribuan mahasiswa dari sekitar 90 negara datang menuntut ilmu disini, termasuk diantaranya sekitar 200 mahasiswa dari Indonesia. Mereka belajar dengan beasiswa para ulama, kebanyakan diantara mereka mengambil mata kuliah filsafat islam dan ilmu tafsir. Mereka kuliah dikampus-kampus yang telah disediakan khusus bagi pelajar yang datang dari luar Iran, seperti Universitas Imam Khomeini, Universitas Hujjatiah dan Universitas imam Shodiq.
Kota ini telah menjadi pusat pendidikan kaum Syiah saat ini, dahulunya berada di kota Najaf Iraq, namun pada masa kekuasaan Saddam Husein pusat pendidikan kaum syiah tersebut dipindahkan ke kota Qum. Para ulama-ulama besar Iran seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahari dan Allama Tabatabai dahulunya juga pernah belajar dan mengajar di kota ini.
Banyak hal yang berkecamuk dikepalaku, keinginan untuk mengetahui sesuatu yang lebih jauh di kota ini harus berperang dengan sempitnya waktu. Entah, kapan lagi aku bisa kembali ke tempat ini, karena bagi orang seperti aku, ini hanyalah sebuah peruntungan dari sempitnya kesempatan yang dapat membawaku ke kota ini, dimana tradisi keislaman dan keilmuan masih terjaga dengan baik.…..

Makassar, 01 Agustus 2006 – 22 : 41 wita

kota di tengah hutan

Kota ditengah hutan itu benar-benar ada. Sebuah kota yang dikelilingi hutan, dimana batas-batas jalan ataupun halaman-halaman rumah, pusat-pusat perbelanjaan dan kantor-kantor adalah pepohonan lebat.
Kuala Kencana, kota ini dibangun ditengah hutan oleh perusahan tambang emas raksasa di Timika Papua. Sepertinya PT. Freeport memang tidak tanggung-tanggung membangun kota kecil sebagai kawasan hunian ribuan pekerja pabrik mereka. Sebuah kota ideal yang dirancang sebagai tempat melepas penat dan stress para pekerja pabrik yang berpacu dengan target-target produksi.
Aku melihat banyak wanita-wanita bule yang berseliweran di kawasan itu, barangkali mereka istri bule-bule petinggi Freeport. Sejenak aku seperti merasa barada diluar negeri, apalagi melihat deretan coklat, buah-buahan, sayuran dan aneka makanan berlabel luar negeri yang terpajang dengan manisnya di rak-rak swalayan. Seperti sebungkus wortel dan kol made in Australia itu, entahlah, apakah barangkali orang-orang Papua memang gak bisa menanam sayur mayur semacam itu?
Kota di tengah hutan itu, memang tak mudah untuk masuk kesana, meski hanya untuk jalan-jalan melihat-lihat keadaan. Sebuah pos penjagaan dan pemeriksaan telah disiapkan di gerbang kota. Hanya mereka-mereka yang memiliki ID card khusus dari Freeport yang dapat melangkah dengan bebas melewati garis gerbang. Bahkan polisi-polisi seperti Kapolres Timika, kulihat juga mengantongi ID card. Untuk pertama kalinya aku melihat polisi punya ID card yang menggantung di saku seragamnya. Hehehe….Jangan-jangan lencana sang Kapolres sudah tak ampuh lagi.
Kalaupun aku sendiri bisa masuk kesana, semua itu berkat Georgerius Okuare. Seorang pemuka suku Kamoro, yang merupakan salah satu suku asli pemilik tanah Timika. Di Timika, dua suku asli pemilik tanah emas itu adalah suku Kamoro dan Amungme. Dan sebagai pemuka suku Kamoro, Gery, tentunya memiliki banyak akses untuk bisa sedikit lebih leluasa hilir mudik di kawasan pertambangan emas terbesar di dunia itu.
Tapi jelas Gery tentunya tak bisa disamakan dengan masyarakat suku Kamoro atau suku Amungme lainnya. Sebab warga-warga biasa Kamoro dan Amungme, aku masi melihat mereka antri untuk mendapatkan ID card khusus tersebut. Ah…apa yang terjadi dengan negara ini…orang-orang kini hanya dapat masuk ke rumah mereka sendiri dengan sebuah ID card khusus dari negara lain.

Makassar, 03 Mei 2006 – 00 : 36 Wita

cinta yang tak pernah letih

Ayah dan juga almarhumah ibu, memang gak pernah meminta apa-apa pada kami berlima, apalagi meminta sesuatu bernilai materi. Melihat kami mampu berdiri diatas kaki sendiri adalah sesuatu yang jauh lebih bernilai dari apapun juga.
Tapi kali ini, setelah hampir dua tahun kerja, senang rasanya bisa beli sesuatu yang baru buat Ayah, meski hanya sebuah handphone yang gak seberapa harganya. Baru sebatas itu kemampuanku, gak seperti kakak-kakaku yang udah duluan “berpartisipasi” setelah semuanya bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik.
”gak perlu yang ada kamera, yang biasa-biasa saja. Asal bisa di pake buat menelpon dan menerima telpon” ujar Ayah, suatu ketika saat dia mulai lelah memenjet tombol HP Nokia 3310nya yang mulai kalah. Nokia sejuta ummat itu dulunya juga warisan dari aku, ku berikan handphone itu buat Ayah setelah aku dapat yang baru dari Kakak Yatie
Untuk Ayah dan Ibu, sampai kami bisa seperti saat ini…..terima kasih untuk cintanya yang tak pernah letih.

Makassar, 18 Agustus 2006

kampung yang hilang

Berjalan kaki menuju desa Bonto Katute kecamatan Sinjai Tengah bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, apalagi bagi orang seperti saya yang nyaris tak pernah melatih fisik untuk menempuh perjalanan jauh , mendaki dan melalui jurang-jurang terjal akibat longsor.
Luki Savitry, repoter Jakarta itu kulihat beberapakali menghapus butir-butir keringat yang bercampur air hujan di wajah moleknya. Beberapa kali dia berujar kalau kakinya serasa mau copot, aku senyum-senyum saja....pura-pura terlihat masih kuat dan tangguh, padahal sejujurnya dari tadi aku ingin bertukar dengkul dengan tentara-tentara Yonif 726 itu.
Setelah melewati beberapa titik longsoran kami akhirnya harus berhenti sejenak, sebuah longsoran baru akibat hujan semalam dengan panjang ratusan meter, telah menutup satu-satu jalan yang biasa dilewati. Ada jutaan kubik material longsor yang labil dan membentuk jurang yang terjal.
Kulihat prajurit-prajurit dari Yonif 726 Tamalatea itu berpikir keras, bagaimana dapat menembus longsoran itu dengan membawa barang-barang bantuan bagi pengungsi yang terisolir. Sapertinya tak ada jalan lain selain menuruni lembah dan kemudian menyeberang untuk sampai di desa sebelah.
Jalanan becek penuh lumpur dan hujan yang terus mengguyur membuat setiap orang harus lebih berhati-hati, Beberapa lembah di kawasan itu sebagiannya telah menjadi rata karena timbunan lumpur, sangat berbahaya jika menentukan pijakan yang tidak tepat saat melangkah, kita bisa tenggelam dalam timbunan lumpur yang dalam.
Prajurit-prajurit TNI itu harus menggotong tangki air besar dan sejumlah peralatan sanitasi lainnya bagi para pengungsi di desa-desa terisolir. Dan aku tentunya harus bisa mengabadikan beratnya perjalanan pendistribusian bantuan tersebut lewat lensa kameraku.
Banjir bandang dan tanah longsor dikabupaten Sinjai membuat banyak desa di berbagai kecamatan di daerah tersebut terisolir akibat terputusnya jalur transportasi darat. Distribusi logistik bantuan bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya bagi para korban bencana, kebanyakan harus dilakukan dengan berjalan kaki hingga puluhan kilo meter.
Sekitar 200 lebih nyawa melayang dalam musibah ini, sementara ribuan warga lainnya kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya. Diatas tanah longsoran itu aku berpijak pada sebuah papan, sepertinya bekas bangunan rumah yang telah rata dengan tanah, jadi teringat dengan cerita beberapa teman dari tim SAR tentang sejumlah perkampungan warga yang hilang akibat tertimbun tanah atau tersapu banjir bandang.

Makassar, 8 juli 2006 – 09:34

obrolan di dapur

Waktu liputan di Papua dulu, Hendrawan Setiawan, teman dari biro Jogja itu pernah bilang, kalo aku cukup beruntung ada di Makassar, kota yang nyaris selalu diisi keributan dan bikin produksi berita jadi gak ada matinya. Mahasiswa yang tawuran, bentrok antar warga, hingga eksekusi tanah yang berbuah perang.
Nggak kayak di Jogja Bud, kalopun ada demo, palingan demonya anak-anak Papua atau demo KAMMI soal Palestina” katanya, dalam sebuah perbicangan rutin kami setiap pagi di pojok dapur rumah kontrakan, dapur yang sempit itu memang selalu ramai setiap pagi, saat anak-anak memperbincangkan banyak hal sambil ngopi dan masak sarapan pagi.
Melihat gempa di Jogja dan Jawa Tengah yang menewaskan ribuan orang dan meluluh lantakkan ribuan rumah itu tiba-tiba saja mengingatkanku pada obrolan-obrolan kami waktu liputan pilkada Papua ketika itu. Jadi ingat cerita Hendrawan tentang kota Jogja yang tenang, tapi gempa yang berlangsung tak cukup dari 1 menit itu kini membuat kota itu jadi amat sangat “ramai”. Dan sampai saat ini berita-berita soal gempa di Jojakarta itu masih terus meramaikan segmen demi segmen dari tayangan berita-berita televisi maupun surat kabar.
Sebenarnya aku tidak bermaksud bercerita tentang daerah mana di Indonesia yang lebih ramai dalam soal produktivitas berita, tidak, sama sekali bukan soal itu. Aku hanya tiba-tiba berpikir tentang betapa berkehendaknya Allah atas segala sesuatu, tentang betapa tidak berdayanya manusia ketika sebuah bencana datang, adakah diantara kita yang bisa mengelak ketika sesuatu telah ditetapkan oleh Yang Maha Berkehendak. “kun fayakun, jadi, maka jadilah !!”.
Belakangan ini, aku merasa makin jauh dari Allah. Masih terus melakukan kesalahan yang sama, masih terlalu angkuh. Padahal apa yang bisa disombongkan?. Tubuh ini cuma setitik debu dari semesta yang maha luas. Kenapa hanya untuk lebih menundukkan kepala jadi begitu susah ?.

Makassar, 07 Juni 2006 – 09 : 40

foto dari masa lalu

Dua buah KTP dengan alamat Makassar dan Jayapura, sejumlah kartu ATM dari beberapa bank yang telah kadaluarsa, kwitansi-kwitansi, beberapa lembar koleksi duit kertas baru yang masih licin, semuanya boleh saja raib jika memang sudah saat untuk kembali pada asalnya.
Aku telah mengikhlaskan kepergian dompet itu, meski dengan sedikit perasaan sedih. Tapi tak apalah, sebab bukankah ini adalah sesuatu yang lumrah dalah sebuah proses hidup. Gak ada yang abadi, semuanya kerap datang dan pergi begitu saja. Dalam hidup kita udah sering banget merasa kehilangan atas sesuatu, tapi besoknya sesuatu yang baru biasanya selalu saja bermunculan, kemudian hilang ketika tiba saatnya, lalu datang lagi sesuatu yang baru dan begitu seterusnya.
Sudahlah…dompet coklat itu entah dimana, bersama sejumlah foto-foto masa kecilku yang terselip di dalamnya. Kusimpan foto-foto culun itu didompet, biar selalu bias dibawa kemana-mana. Setidaknya dalam penatnya langkah yang dijejaki, ada sesuatu yang menyejukkan saat memandang foto-foto itu. Ikhlaskan saja semua isinya, anggap saja sebagai sesuatu yang telah disedekahkan.
Sebenarnya aku kurang begitu suka memakai dompet, menyimpannya di saku celana belakang kerap membuat kartu-kartu ATM dsb yang bermukim didalamnya jadi patah. Seingatku, aku Cuma sekali membeli dompet. Saat awal-awal kuliah dulu, itupun nyaris tak terpakai. dan kalaupun hari ini aku punya sebuah dompet, itu hanya kebetulan sebagai hadiah ulang tahun dari pacarku yang dulu “ biar diinget-inget, harus selalu ada isinya. Udah saatnya untuk mikir masa depan” begitu katanya.

Seorang ibu yang tengah hamil tua, sambil menggendong seorang bayi, datang ke rumah Kika pagi itu. Mengembalikan sebuah dompet coklat yang di temukan anaknya beberapa malam yang lalu. “ saya gak tau ini dompet siapa, tapi saya liat ada fotonya Ika disini” Ujar ibu muda itu.
Aku tentunya amat bersyukur dengan kembalinya dompet itu, kuperiksa isinya, tentunya setelah ibu itu berlalu. Semuanya masih utuh, kecuali koleksi beberapa uang kertas baru yang entah dimana. Aku berprasangka baik terhadap ibu muda itu, barangkali dia penemu yang kesekian setelah jatuhnya dompet. Tapi demi Allah, aku telah mengikhlaskan semuanya, termasuk siapapun sang penemu pertama.

Makassar, 02 Mei 2006 – 23 : 45 Wita

sepotong poster bintang kejora

Agak bingung juga, dari mana sebaiknya memulai cerita tentang kota ini. Dulunya saat pemerintah Hindia Belanda masih bercokol, orang-orang menyebut kota pantai ini sebagai Hollandia, lalu kemudian berganti nama menjadi Sukarnopura saat gelora revolusi 45 menyesak kesetiap sudut nusantara. Kota ini juga pernah disebut sebagai Port Numbay, yang kemudian menjadi Jayapura hingga saat ini.
Dua bulan liputan Pilkada Papua dan kasus bentrok yang menewaskan 5 petugas keamanan di Abepura Jayapura, menyisakan banyak hal yang mengendap dalam memori. Tanah Papua, sebuah wilayah subur yang penuh gelora. Menurutku ada “sesuatu” di Papua yang terus bergerak, seperti borok yang kelak meletus dan mengoyak pori-pori.
Di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Cenderawasih, kami menemui seorang pria asli Papua, seorang mantan tahanan politik yang pernah mendekam di penjara selama 16 tahun karena dianggap telah melakukan tindakan makar yang membahayakan eksistensi NKRI. Dia berbicara tentang keinginan rakyat Papua untuk merdeka, memisahkan diri dari Indonesia. Menurutnya hingga saat ini kemerdekaan yang hakiki bagi seluruh rakyat di Bumi Cenderawsih adalah sesuatu yang harus terus di perjuangkan.
Kami mewawancarainya dengan sepotong poster perjalanan para pencari suaka dari Papua ke Australia, lengkap dengan gambar bendera Bintang Kejora ditanganya. Suaranya sedikit bergetar dalam wawancara khusus yang singkat itu. Sejujurnya aku sedikit khawatir, pria ini akan segera di tahan setelah tanyangan wawancara ini dimuat. Tapi kantor rupanya tak mau menayangkan liputan itu. Entah, aku harus kecewa atau apa, tapi mungkin saja semua ini ada baiknya juga.
Di Jayapura, mulai dari pusat-pusat perbelanjaan hingga ke pertokoan-pertokoan di sepanjang kota lebih banyak di isi oleh para pendatang yang berseliweran di dalamnya. Di pasar tradisonal, para penduduk asli boleh sedikit ramai ditemui, tapi warung-warung makan dan kios-kios pakaian dan sembako masih tetap di dominasi oleh para pendatang. Lepas dari fakta bahwa masyarakat asli memang telah kalah dalam sebuah pertarungan ekonomi yang benar-benar fair, tapi aroma kesenjangan social dan ekonomi antara pribumi Papua dan kaum pendatang jelas begitu terasa disana.
Aku rasa, pemerintah harus lebih arif dalam melihat tanah dan juga rakyat Papua. Ada dosa masa lalu yang mungkin secepatnya harus dibenahi….jika kita benar-benar tidak ingin kehilangan sejengkal tanah untuk yang kedua kalinya.


Makassar, 9 April 2006 – 17 : 02 Wita

keluarga mononage

Dua jasad pasangan suami istri itu terbujur kaku, sementara disisi kedua petih jenazah tersebut empat orang anak mereka yang masih belia tak kuasa menahan kesedihan. Ledakan bom di pasar khusus penjualan daging babi Palu Sulawesi Tengah terebut telah merenggut keutuhan keluarga kecil terebut.
Yopi Mononage dan Memeiso, kedua jenazah yang terbujur kaku di peti jenazah tersebut, adalah penjual babi di pasar Maesa Palu. Menurut Wawan, salah seorang putra Yopi dan Memeiso, ada kemungkinan bom tersebut tepat berada dibawah meja tempat kedua orang tuanya berjualan. Yopi dan Meiso, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dengan kondisi tubuh yang hancur pada bagian kaki dan perut.
Sungguh, aku benar-benar diselimuti kesedihan, saat mengabadikan peristiwa pemakaman keduanya dibalik lensa kameraku. Aku berpikir tentang keluarga itu, tentang ke empat anak Yopi dan Memeiso yang masih belia, tentang hari-hari yang mereka lalui selanjutnya. Sungguh peledakan bom di pasar tersebut adalah sebuah kebiadaban.
Ledakan tersebut merenggut tujuh korban jiwa dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Bahkan sebagian diantara korban luka tersebut harus pasrah saat dokter memfonis, bahwa untuk keselamatan jiwa mereka, tak ada jalan lain, kaki mereka harus diamputasi!.
Banyak diantara mereka yang harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Korban lain yang juga pasangan suami istri adalah seorang prajurit TNI yang bernama Tasman dan Istrinya, keduanya meninggal di tempat kejadian, dan meninggalkan dua putra yang masih anak-anak.
Kekerasan di Sulawesi Tengah seperti tak pernah menemukan ujung pangkalnya, mulai dari kasus bom Tentena, pemenggalan dan penembakan siswa SMU di Poso dan yang terakhir adalah ledakan bom di pasar Maesa Palu. Entah siapa yang harus diminta pertanggung jawabannya, sebab teror diilayah ini bergerak seperti hantu….

Palu, Januari 2006