anak-anak muda tehran

Penghujung Juli 2007, disebuah kawasan perbelanjaan di kota Tehran Republik Islam Iran, sekelompok anak muda mencegatku, saya sedikit cemas, sepertinya ada gelagat yang kurang baik. dan saya mulai menyesali kenapa harus berpisah diam-diam dari rombongan.
Tapi kecemasanku segera mereda, rupanya mereka hanya ingin tahu dari mana saya berasal, dan kenapa saya membawa kamera. Lalu dengan bahasa inggrisku yang pas-pasan saya menjelaskan, bahwa saya dari Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, saya datang untuk meliput pagelaran delegasi kebudayaan Indonesia di Tehran.
Mereka bertanya lagi, apakah saya tahu Mahmoud Ahmadinejad?. Dan saya bilang, sebagian besar orang Indonesia suka Ahmadinejad. Presiden Iran itu, Ia adalah sosok sederhana, dan simbol perlawanan bagi keangkuhan negara adidaya seperti Amerika Serikat. Saya menyimpan foto Ahmadinejad, saat ia sholat diatas trotoar jalanan, juga ketika ia tertidur pulas diatas karpet dengan sebuah selimut sederhana. Tapi tanggapan anak muda itu justru terdengar aneh bagi saya, mereka tidak menyukai Ahmadinejad.
Pada seorang teman asal Makassar yang kuliah di Iran, saya ceritakan perbincangan saya dengan anak-anak muda itu. Saya ingin penjelasan, kenapa ketika saya dan jutaan orang di Indonesia begitu kagum dengan sosok Ahmadinejad, anak-anak muda Iran itu justru membenci Ahmadinejad. Menurut temanku itu, yang tidak menyukai Ahmadinejad adalah mereka yang tidak lagi tersentuh dengan semangat revolusi Islam Iran. Banyak diantara mereka adalah kaum muda Iran yang tinggal di wilyah perkotaan.
Saya mulai mengerti. Di kota Qum, kota suci kaum Syiah di Iran, sekitar dua jam perjalanan dari ibu kota Tehran, saya melihat orang-orang bersorban dan berkerudung panjang di jalan-jalan kota. Tapi di ibu kota Tehran, anak-anak mudanya, seperti anak-anak gaul kota besar pada umumnya, yang mungkin saja merindukan sebuah kehidupan baru yang jauh lebih liberal.

*****

Dua hari ini di kabar petang, topik utamanya adalah kisruh pemilu di Iran yang diwarnai gelombang demonstrasi besar kelompok oposisi yang kalah dalam pemilu. Unjuk rasa itu menewaskan sejumlah orang dan memicu bentrokan antara pendukung Ahmadinejad dengan pendukung calon presiden yang kalah, Mirhossein Mousavi.
Mahmoud Ahmadinejad, presiden yang sederhana dan bersahaja itu memenang mutlak dalam pemilu Iran. Para pemimpin spiritual di Iran seperti Ayatollah Khomeini telah menyatakan dukungannya pada Ahamdinejad, dan mengecam barat yang dianggap bermain dibalik kekisruhan pemilu Iran. Menurut berita, para penentang Ahmadinejad adalah kaum muda Iran, yang banyak berbasis di wilayah perkotaan. Media-media barat menyebut mereka sebagai kaum reformis.
Hhmmm...saya teringat perbincangan singkatku dengan anak-anak muda di Tehran itu. Ketika Amerika dan juga negara-negara barat yang tak pernah berani menentang Iran dengan perang terbuka seperti yang telah mereka lakukan di Iraq, saya rasa anak-anak muda inilah sasaran empuk mereka, sebuah perang baru dari barat yang lebih bersifat ideologis...

Makassar, 23 Juni 2009 - 20.40

di kota ini

Minggu siang ini sedikit lengang, belum ada yang lumayan menarik untuk ditawar di meja producer, supaya bisa lolos dirundown program berita, misalnya yang menyangkut dengan hajat hidup orang banyak. Sejak malam hingga jelang sore ini, yang ramai adalah perang antar kelompok warga disejumlah sudut kota.
Tawuran lagi, sudah tentu ada batu, busur dan juga badik yang menghunus. Dan saya tak ingin menceritakan kabar seperti ini lagi kepadamu, apalagi setelah kau bertanya : "apa yang membuatmu betah tinggal di kota yang selalu ramai dengan keributan warga?".
Kota ini tak seburuk yang engkau lihat di televisi. Saat pertama kali saya menjejakkan kaki disini, dengan setumpuk pakaian, dan berlembar-lembar foto copy ijazah SMA, sayapun berpikir sama denganmu, tentang banyak hal yang mesti saya cemaskan bila ingin menyambung nasib di kota ini. Tapi waktu kemudian membuat saya belajar banyak hal, juga memahami banyak hal, yang menurutku hanya akan kau mengerti bila kau tinggal disini.
Dulu 11 tahun yang lalu, saat pertama kali saya tiba disini, seseorang pernah bilang seperti ini : " ...tak perlu terlalu cemas,seperti inilah kami, disini kami membangun persaudaraan abadi dengan cinta dan juga sedikit keras kepala.... "

Makassar, 21 Juni 2009 - 17.00

[...radio polisi di sudut ruangan itu masih berteriak, minta perkuatan personil, tawuran antar kelompok pemuda di kawasan Rappocini yang berlasung dini hari tadi kembali pecah...]

kereta malam

Sebentar lagi kereta malam Sancaka ini, akan membawaku pulang ke kotamu. Dan seperti saat pertama kali menemuimu, saya masih saja tak punya cukup nyali untuk menatap lekat-lekat kedua mata indahmu.
Kau tak perlu menjemputku kali ini, istirahatlah, sebab besok masih banyak janji yang harus kita selesaikan, juga banyak kisah yang ingin saya ceritakan...

Kereta malam Sancaka Jogja-Surabaya, 13 Juni 2009 - 19.30

para pejalan

Sore itu, seorang laki-laki tua penjual kue keliling menurunkan pikulan dagangannya, diteras sebuah mesjid kecil dekat jalan pahlawan. Laki-laki tua itu sama seperti saya, kami adalah para pejalan kelelahan yang singgah beristirahat, juga sekaligus memenuhi panggilan sang pemilik kehidupan.
Tapi perbedaan paling mecolok dari saya dan laki-laki tua itu adalah, saya yang akhirnya terdampar di salah satu sudut kota buaya dan hiu ini, sebagai bagian dari niat menyusuri bumi Allah lainnya, yang dulu hanya bisa saya liat pada peta. Juga sebuah perjalanan untuk mencari sesuatu yang saya sebut sebagai pertanda bagi takdir saya sendiri. Perjalanan yang akhirnya bisa saya lakukan setelah saya merasa sedikit lapang untuk menjalani petualangan sederhana seperti ini. Sementa ia singgah karena kelelahan menyambung nasib sebagai penjual kue keliling.
Usai sholat ashar, laki-laki tua itu merebahkan diri di teras mesjid. Saya menawarkan sebatang rokok, dan ia menolaknya dengan santun. Sudah pasti ia kelelahan menyusuri sudut-sudut kota, mengikuti jalan takdirnya sebagai penjual kue keliling. Saya melihat kue-kue dagangannya belum juga habis, masih tersisa, dan saya membayangkan ada sejumlah orang yang menantinya pulang sore ini dengan uang jualan kue yang tak seberapa itu.
Saya menunduk hormat padanya, saya belajar tentang bagaimana seharusnya menjadi orang yang tak pernah putus bersyukur atas apa yang telah dimiliki, sesederhana apapun itu. Langit-langit kota ini mulai diselumuti cahaya senja yang jingga, saya akhirnya meninggalkan laki-laki tua itu tertidur lelah di teras mesjid.
Seperti kemarin, saya selalu bahagia melihat senja disini,karena saya tahu sebentar lagi kau akan pulang. Saya memilih jalan kaki saja. Saya akan menunggumu di tempat biasa, dimana kita selalu menundukkan kepala dalam-dalam, berdoa untuk potongan-potongan mimpi yang kita kumpul setiap hari.

Surabaya, 10 Juni 2009 - 18.00

manohara

Ia berpidato di televisi pagi ini, sebagai pemimpin tertinggi di negeri berpenduduk 200 juta, barangkali ia berpikir perlu angkat bicara tentang kasus penyiksaan model cantik asal Indonesia, Manohara Odelia Pinot, oleh mantan suaminya, seorang pangeran dari negera bagaian Kelantan Malaysia.
Sebentar lagi pemilihan presiden, tapi saya tak ingin mencurigai niat baiknya berkomentar tentang Manohara, mungkin saja ia berbicara atas nama harga diri kebangsaan yang sudah terlalu sering dilecehkan oleh negara tetangga itu. Apalagi kasus Manohara sedang ramai menjadi perhatian publik, dan media di Indonesia memberikan porsi yang lumayan istimewa tentang Manohara.
Pagi ini, saya teringat dengan ribuan perempuan TKI yang tengah mengadu nasib di Malaysia. Banyak diantara mereka yang mengalami perlakuan sangat sadis dari majikannya, lalu pulang dalam kondisi cacat atau dengan gangguan mental akibat trauma. Bahkan tak sedikit yang akhirnya pulang ke tanah air dalam keadaan terbungkus dalam peti mati.
Mereka bukan siapa-siapa, hanya perempuan-perempuan biasa yang nekat merantau demi kepulan asap dapur di kampung halaman. Kalaupun mereka dianiaya di perantauan, kepulangan mereka-pun nyaris tidak terdengar, tidak disambut dengan serangkain konferensi pers dan kilatan lampu para wartawan infotaiment. Juga tentunya dengan pidato khusus dari istana kepresidenan...

Makassar, 3 Juni 2009 - 07.00