kota yang tak pernah belajar

Hujan turun tak bosan-bosannya dalam tiga hari ini, deras menggenangi jalanan. Banjir?, sudah pasti, jalanan macet?, tentu saja. Hujan, banjir dan macet, sepertinya sudah dihadiahkan sepaket, kepada kota dimana pemerintah dan warganya sama-sama tak pernah belajar tentang bagaimana merawat lingkungannya.
Ketika kemarau panjang membakar kota, orang-orang ramai menggerutu,   mengeluh gerah, berharap hujan, tapi tetap membuang sampah seenaknya. Soal sampah ini, saya ingat komentarnya Anchu, teman sekantor, saat melihat pengendara mobil yang membuang sampah ke jalanan dari jendela mobilnya, katanya: "itu orang, duitnya banyak, tapi otaknya yang sedikit. Mestinya dia beli dulu tambahan otak, baru kemudian beli mobil" hahaha...
Ketika hujan datang, jalanan macet karena genangan air, pemukiman terendam air, orang ramai kembali mengutuk cuaca. Padahal saat kemarau panjang, mereka lupa membersihkan parit depan rumah yang mendangkal akibat lumpur dan sampah rumah tangga. Pemerintahnya?, sama saja menurutku, mereka mengelola sistem drainase kota dengan sangat buruk. Mengizinkan para pengusaha membangun belantara beton seenaknya, merusak kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air.
Cerita tentang hujan dan banjir, bagi saya adalah sepotong kisah lama, yang kembali berulang di sebuah kota, dimana warga dan pemerintahnya, sama-sama tak pernah belajar, kecuali saling menyalahkan ketika kesulitan mulai datang.
bagaimana dengan saya??, tiga hari ini saya betah menonton hujan, dari teras belakang kantor tvone biro Makassar. Tempat paling "keramat" untuk melewatkan waktu. Hujan membuat desember ini terasa lama, memberi tempat pada sunyi yang meresap diam-diam, mengendap dalam ingatan.

Makassar, 19 desember 2015

***rindu kalian, my lovely Zee dan Mezayu