satu lagi

satu lagi jejak hidup bertambah
tapi juga sekaligus berkurang
pada labirin panjang yang tak berujung
saya ingin berterima kasih untuk semua
yang selalu menjadi cahaya pada sunyi....

Makassar, 25 September 2007 - 00 : 00

va dove ti porta il evore

“Va dove ti porta il evore……
pergilan kemana hati membawamu...

Dan kelak disaat begitu banyak jalan terbentang dihadapanmu
Dan kau tak tahu jalan mana yang harus kau ambil
Janganlah memilih dengan asal saja, tapi duduklah dan tunggulah sesaat
Tariklah nafas dalam-dalam dengan penuh kepercayaan
Seperti kau bernafas dihari pertamamu di dunia ini
Jangan biarkan apapun mengalihkan perhatianmu
Tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi
Berdiam dirilah, tetap hening dan dengarkanlah hatimu
Lalu ketika hati itu bicara, beranjaklah
Dan pergilah kemana hati membawamu……

*****

Terima kasih untuk Susanna Tammaro, saya hanya mengenalmu lewat beberapa bait pada tulisan ini, tapi saat ini saya seperti berada pada sebuah persimpangan jalan, dan bingung kearah mana sebaiknya saya melanjutkan perjalanan ini.
Saya ingin seperti yang kau sarankan, berdiam barang sejenak, menarik nafas dalam-dalam dan mendengarkan suara hati…..lalu kemudian pergi, kemana hati akan membawaku…….
Makassar, 23 September 2007 – 15 : 03

robohnya masjid kami

“…….sekarang kita tak punya apa-apa lagi, yang tersisa hanyalah puing-puing dari kebodohan kita sendiri, sejarah kita telah mati….”

Pesan singkat lewat SMS itu, hanya bisa saya kirim ke beberapa teman di Tidore setelah saya tiba di Makassar. Sempitnya waktu dan kesibukan diantara kami membuat kami tak sempat duduk disatu meja, sekedar bercerita tentang perkembangan tanah kelahiran beberapa tahun terakhir ini, atau setidaknya bisa ngobrol sambil minum aer goraka di pelataran pasar Sarimalaha, seperti yang pernah kami lakukan beberapa waktu yang lalu. Padahal ketika itu, saya ingin sekali bisa bertemu, setidaknya untuk menyampaikan keprihatinanku tentang nasib mesjid kami yang dibongkar paksa itu.
Sampai saat ini, saya tak pernah tahu apa yang menjadi petimbangan mereka yang telah merobohkan mesjid tua itu, dan menggantinya dengan bangunan mesjid yang baru. Padahal itu adalah satu-satunya yang tersisa dari jejak sejarah masa lalu kesultanan Tidore. Sedih rasanya melihat bangunan bersejarah yang berusia ratusan tahun itu rata dengan tanah. Saya jadi teringat, beberapa tahun lalu, salah satu mesjid tertua di Indonesia yang ada di Toloa-Tidore, juga dirobohkan warga, dan diganti dengan bangunan yang baru.
Katanya mesjid sultan Tidore itu, salah satu tiang utamanya telah rapuh, makanya harus dibongkar dan dibangun yang baru, lalu entah siapa yang kemudian menjadi penentu keputusan membongkar mesjid bersejarah itu. Tapi yang pasti, kontraktor yang memenangkan tender rehabilitasi mesjid itu adalah anak sultan Tidore sendiri.
Benar-benar bodoh, padahal masih banyak cara yang bisa dilakukan selain dengan meratakan bangunan itu dengan tanah. Saya juga amat kesal dengan pemerintah di Tidore, kemana saja mereka saat setiap jengkal bangunan bersejarah itu dirobohkan, pemerintah di Tidore, juga sultan Tidore, sama saja bodohnya.
Tak jauh dari mesjid sultan itu, berdiri situs peninggalan dari sisa-sisa bangunan kedaton sultan Tidore, itu juga sudah rusak, situs-situsnya hancur oleh alat-alat berat yang menggali pondasi untuk replika kedaton sultan Tidore yang dibangun diatas tanah tersebut. Kenapa replika kedaton Sultan harus dibangun diatas situs bersejarah itu???. Tanah diluar wilayah situs itukan masih banyak yang kosong. Sisa-sisa bangunan kedaton sultan yang telah rata dengan tanah itu masih jauh lebih bernilai, dibanding replika yang bernilai milyaran rupiah tersebut.

*****
Dulu sekali, saat sultan Saidul Jehaad Muhammad El Mabus Amiruddinsya Kaicil Paparangan membangun jazerah Moloku Kie Raha dengan darah dan juga hunusan pedang kepada imperialisme asing, selalu saja ada penghianatan dari orang-orang kedaton yang silau dengan harta benda, yang rela menggadaikan harga diri, mengadaikan kedaton dan rakyat, demi sekeping emas gubernur jenderal Belanda di Ternate.
Saya mulai yakin, bahwa pada titik tertentu, sejarah selalu mengalami pengulangan-pengulangan, meski dengan cara yang berbeda, tapi dengan substansi yang tetap sama. Harga diri dan warisan masa lalu yang menjadi hak rakyat Tidore itu, hari ini juga digadai oleh “orang-orang dalam kedaton” sendiri. Lihat saja, kalau bukan karena tergiur dengan tender milyaran rupiah, tidak mungkin mereka tega merusak warisan masa lalu yang tidak ternilai itu…ah, barangkali ini pertanda bahwa sejarah kita memang telah usai, kita tak punya apa-apa lagi, selain puing-puing kebodohan kita sendiri……

Makassar, 10 September 2007 – 02 : 39 dini hari

pulang

Orang-orang sudah ramai di rumah saat saya tiba siang itu. Tenda pengantin di depan rumah sudah dipenuhi para undangan, jadi bingung juga harus masuk lewat mana, satu-satunya jalan masuk ke rumah ialah dengan melewati hadapan para undangan itu. Saya malu untuk melintas, apalagi dengan dandanan kayak orang baru turun gunung seperti ini.
Mestinya saya sudah di rumah sejak kemarin, tapi karena liputan bentrokan pendukung sultan Ternate, Mudaffar Syah, dengan aparat kepolisian, terkait pilkada Maluku Utara membuatku tertahan di Ternate untuk sementara. Sekarang saja untuk bisa sampe kerumah, saya harus minta kerelaan mas Bowo dan Burhan liputan tanpa saya. Hari ini adik bungsuku, Nana menikah, ini moment penting yang harus saya hadiri.
Orang-orang penuh diruang tengah itu, hanya dari balik jendela nako rumah kami, kulihat Nana, bersama calon suaminya, detik demi detik melewati setiap proses bagi kehidupan mereka yang benar-benar baru. Ah, si bungsu yang manja ini akhirnya menikah, sebuah fase baru dalam hidupnya yang menuntut kedewasaan dan kebijaksanaan.
Kami benar-benar diliputi kesedihan, saat acara sungkeman pengantin dengan seluruh anggota keluarga, saya sedih, ada yang kurang hari ini, adik bungsu yang kami sayangi ini melalui saat-saat penting dalam hidupnya tanpa disaksikan almarhumah ibu. Padahal sebelumnya Nana meminta supaya saya tetap bisa pulang pada hari pernikahannya, sesibuk apapun penugasan kantor, katanya tidak lengkap nantinya foto keluarga di hari bahagianya itu. Dia lupa barangkali, bahwa sepeninggal ibu, secara lahiriah, kita akan selalu tidak lengkap.
Rasa-rasanya waktu bergerak lebih cepat dari yang pernah terpikirkan, keluarga ini, saya benar-benar mencintai keluarga ini, bagi orang seperti saya yang membangun hidup jauh diperantauan, bisa pulang dan berkumpul dengan Ayah dan semua saudara, selalu saja menyibak nyibak rasa rinduku. Rapuhnya waktu memang membuat segalanya telah banyak berubah. Meski begitu rasa-rasanya kami selalu seperti dulu, seolah-olah tak ada yang berubah sedikitpun, kami seperti cinta yang tak pernah letih…..


Makassar, 2 September 2007 – 12 : 55 wita