Kisah Si Didi


"Teng...teng..teng...lonceng berbunyi....saatnya istirahat, anak-anak kelas satu keluar bermain..." begitu ia mulai bercerita, maka saya dan Nana yang asyik bermain akan berhenti sejenak dan mengalihkan perhatian kepadanya.
"Kata Didi....aku punya bola sebuah, ayo kita bermain bola......
 Anak-anak yang laki-laki adalah, Andi, Anton, Daud, Didi, Ijak, Yohan, Wim dan Zen. Anak-anak yang perempuan adalah, Alida, Fatima, Ina, Nela, Qamaria, Syamsia dan Juriah..."
Bila ia mulai bercerita, maka kami akan menyimaknya dengan penuh perhatian, meski sebetulnya yang ia ceritakan adalah kisah-kisah lama yang sudah berkali-kali diceritakannya, bahkan bukan hanya sekedar alur atau tema cerita, setiap kata sekalipun dalam kisah itu sudah kami hafal. Tapi kami akan tetap mendengarnya dengan penuh semangat.
Ia adalah seorang pendongeng yang baik, ia mampu membawa kami masuk dan merasa dekat dengan tokoh-tokoh yang ada dalam ceritanya. Tak hanya pandai berkata-kata, tapi sinar matanya pun ikut berbicara, dengan senyum kecil ia akan menatap kami, bila melihat ekpresi kami yang melongo menunggu lanjutan cerita yang akan ia sampaikan. Terkadang ia berhenti sejenak dan menyanyikan sebuah lagu, sebelum kembali melanjutkan cerita.
Ia adalah seorang pendongen yang baik, bahkan hingga kami dewasa sekalipun semua cerita yang ia sampaikan selalu abadi dalam ingatan kami. Tidak hanya saya dan Nana, tapi juga Abang On, Uni, dan kakak Yati. Kami masih bisa menirukan bagaimana cara dia bercerita, lengkap dengan intonasi suaranya yang khas.

Belakangan, setelah saya cukup besar dan mulai mengerti banyak hal, saya baru tahu, apa-apa yang selalu dikisahkan kepada kami adalah bacaan-bacaan buku pelajaran sekolah pada masa kecilnya, untuk hal yang satu ini, ia punya ingatan yang kuat. Cerita favorit yang sering ia sampaikan adalah kisah "Si Didi", tokoh teladan dalam bacaan di sekolah dasar pada masa kecilnya. Mirip dengan tokoh Budi pada buku bacaan ketika saya duduk di sekolah dasar hehe....

*****

Desember tahun kemarin, saya tiba dirumah setelah tak pernah pulang dalam tiga tahun terakhir. Saya menemuinya di kamar, ia duduk dan tertidur dikursi yang disiapkan khusus untuknya. Ia sudah lama tak pernah lagi bercerita, bahkan tak pernah berbicara sama sekali.
Usia yang semakin tua ditambah penyakit epilepsinya yang akut telah menggerogoti kesehatannya.Penyakit itu pula yang membuat ia tak pernah menikah, dan hidup seadanya, diasuh oleh saudara-saudaranya yang lain.
Saya menyapanya, mengucapkan salam dan mencium tangannya. Meski orang-orang disekitarku menyampaikan kepadanya dengan suara yang sengaja dikeraskan, bahwa yang datang adalah saya, keponakannya yang merantau jauh di Makassar. Tapi ia tak pernah lagi bicara, matanya hanya terbuka sedikit, memandangku dengan tatapan yang kosong....

Makassar, 19 Mei 2012 - 21:00

"Mengenang Om Ade, Dahlan Ahmad Sandiah, istirahatlah dengan damai disisi-NYA, kami semua menyayangimu"

Jalan-Jalan

Kami mengajakmu jalan-jalan melihat Fort Rotterdam, salah satu jejak masa lampau yang masih dijaga dengan baik di kota ini. Benteng ini dibangun oleh raja Gowa ke 9 pada tahun 1545 yang bergelar Imanrigau Daeng Bonto Karaeng lakiung Tumpa'risi' Kallonna.
Nama asli benteng ini adalah benteng Ujung Pandang, atau benteng Panyua karena desain arsitekturnya yang bergaya eropa itu bila dilihat dari udara berbentuk seperti se-ekor penyu yang sedang merangkak.
Filosofinya, seperti se-ekor penyu yang bisa hidup di daratan maupun lautan, begitu pula kerajaan Gowa yang berjaya di darat maupun dilautan.
Kini benteng ini lebih dikenal dengan nama Fort Rotterdam, setelah kerajaan Gowa dipaksa VOC menandatangani perjanjian Bongayya. Nama Rotterdam ini diambil dari nama kota kelahiran Cornelis Speelman, yang saat itu berkuasan sebagai perwakilan VOC di Makassar.
Kami sengaja membawamu kesini putriku, setidaknya jalan-jalan kita kali ini bisa memberimu sedikit prespektif yang berbeda, dari sekedar pemandangan di pusat-pusat perbelanjaan yang kerap kita datangi setiap akhir pekan.
Kami memang lebih sering membawamu ke Mall, kau tentu lebih sering melihat deretan produk dengan berbagai godaan kemudahan belanja, mulai dari diskon, cicilan dengan bunga nol persen, hingga banyak lagi model marketing yang membuat kita lupa pada garis batas antara keinginan dan  kebutuhan.
Bila kita mulai tak bisa membedakan yang mana kebutuhan dan yang mana keinginan, maka kita akan lebih sering memakai ego daripada logika. Kita manjadi budak kapitalisme dengan ideologi konsumerisme yang akut.
Hmmm...sepertinya mulai berat pembahasan kita putriku, maklumlah...ayahmu ini tiba-tiba terkenang dengan bacaan-bacaan jaman kuliah dulu, tentang kapitalisme versus sosialisme, tentang pendidikan yang membebaskan, bahkan tentang perdebatan kami di kordor kampus mengenai dimanakah sebetulnya Tuhan berada, apakah Tuhan ada di rumah-rumah ibadah atau justru di kampung-kampung kumuh, atau sebetulnya Tuhan itu ada pada tatapan mata anak-anak langit yang mengemis di perempatan lampu merah.
Entah jaman dengan logika seperti apa yang akan kau hadapi bila kau dewasa nanti, hari ini saja, sudah banyak hal-hal miris yang membuat kami cemas. Untuk mendidikmu dengan baik, kamipun harus menjadi yang lebih baik, sebab sebaik-baiknya nasihat itu bukanlah kata-kata, tetapi contoh teladan yang baik.
Kami harus menjadi yang terbaik, sebelum membimbingmu ke jalan-jalan kebaikan. Azeeta Sasmaya putriku, bunga mawar yang indah, kami menamakanmu seperti itu, sebab engkau adalah tanda cinta kami, engkau adalah bunga yang tumbuh di taman hati kami.

Makassar, 12 Mei 2012- 02.00 dini hari