kabut di petirolemba

Seperti berjalan melintasi awan, karena disekeliling hanya kabut yang menyelimuti.. Orang-orang menyebutnya Petirolemba, sebuah tempat di ketinggian, dimana kita akan selalu melihat lembah yang diselimuti kabut.
Jalanan yang kami lalui benar-benar berada dipuncak perbukitan, disekitar kecamatan Pamona Timur Sulawesi Tengah. Sepuluh jam perjalanan dengan jalur darat, dari kota Palu menuju Kolonodale kabupaten Morowali untuk berburu gambar peristiwa banjir dan longsor di Bungku Utara ketika itu, terasa amat melelahkan. Tapi kabut di Petirolemba siang itu, sedikit membunuh penat diperjalanan kami…Maha suci Allah, untuk semesta yang diciptakan sedemikian indahnya….

*****

Siang tadi, saat penat begitu menghimpit disepanjang jalan menuju kantor, saya tiba-tiba teringat dengan kabut di Petirolemba siang itu…
Kota ini semakin terasa sesak, diantara deru kendaraan yang membelah belantara beton ini, yang ada hanyalah kepulan asap dan panas yang membakar kepala…kenapa pembangunan begitu pelit untuk menyisakan sedikit ruang bagi pepohonan?.

Makassar, 20 Agustus 2007 – 20 : 44 wita

tanda

Ya Allah…berilah sedikit tanda..
Karena engkau mencintaiku..
dengan cara yang sulit kumengerti…

Makassar, 18 Agustus 2007 – 21 : 00 wita

batu rube

Jangan membuka mata terlalu lama, sebab seisi ruangan KRI Lambung Mangkurat yang bergerak naik turun itu akan membuatku semakin mual. Kata seorang anak buah kapal, ombak diluar mencapai ketinggian 3-4 meter, padahal kapal ini baru saja meninggalkan pelabuhan Kolonodale Morewali, dan masih sekitar 5 jam lagi untuk sampai di Batu Rube. Sementara saya, harus bisa terus bertahan dengan posisi seperti ini, duduk disofa dengan kaki terjulur diantara tumpukan barang, sambil terus memejamkan mata, biar tidak terlalu pusing dan mual. Kulihat mas Bowo, cameraperson Jakarta itu, juga melakukan hal yang sama, berupaya lelap meski sama sekali tidak mengantuk.
Rasanya lelah sekali, setelah sepuluh jam perjalanan darat dari Palu ke Kolonodale, kini masih terombang ambing dengan perut keroncongan. Kami tidak sempat cari makan saat tiba sore tadi di Kolonodale, gara-gara mengejar KRI Lambung Mangkurat yang akan segera berangkat. Sedikit khawatir juga, kalau maag ini kambuh lagi, sudah cukup di rasanya diopname 5 hari gara-gara sakit maag beberapa bulan yang lalu.
Sekitar pukul 10 malam kami tiba di perairan Batu Rube, nyaris tidak ada yang bisa terlihat di daratan, benar-benar gelap gulita. Persoalan lainnya adalah kapal-kapal besar seperti KRI tidak bisa merapat ke dermaga karena laut yang dangkal. Kami harus menunggu lagi, dan akhirnya baru bisa merapat ke daratan Batu Rube sekitar pukul 2 dini hari, setelah perahu-perahu kecil datang menjemput bantuan logistik dan relawan yang ikut bersama KRI Lambung Mangkurat.
Malam itu, suasana Batu Rube seperti perkampungan mati, gelap gulita, menurut warga listrik hanya menyala dari pukul 19:00-24:00, tapi sejak musibah banjir bandang dang longsor yang melanda daerah ini, sudah hampir sepekan, listrik di Batu Rube mati total akibat gardu PLN ikut terendam banjir Lumpur.

*****
Menuju ke Desa Boba, salah satu dari belasan desa terisolir dengan kerusakan yang cukup parah. Perjalanan ditempuh dengan speedboat, lalu dilanjutkan dengan 2 km jalan kaki melintasi rawa-rawa hutan bakau, lumayan bikin lecet kaki.
Desa berpenduduk sekitar 400 KK itu benar-benar sepi ditinggal warganya. Hampir separuh bagian desa hancur akibat terjangan banjir bandang dan tanah longsor. Ada sebuah sekolah dengan atap yang telah menyatu dengan tanah, disekitar sekolah yang kini menjadi hamparan tanah lapang berlumpur itu, dahulunya banyak sekali berdiri rumah-rumah warga, namun kini hilang tersapu banjir atau tertimbun longsor.
Bersama sejumlah personil Yonif 714 Sintuwu Maroso, kami sempat mengevakuasi 2 jenazah warga Boba yang tewas tertimbun longsor. Juga sempat mengevakuasi sejumlah pengungsi suku Wana yang lari meninggalkan rumah-rumah mereka di kawasan pegunungan setempat, salah satu diantara mereka dalam kondisi luka parah karena tidak mendapatkan perawatan medis selama seminggu.
Rasanya bencana di negeri ini datang tak putus-putusnya, barangkali kita harus lebih banyak menundukkan kepala. Seminggu liputan bencana di Batu Rube, saya kerap berpikir tentang orang-orang di desa-desa yang dilanda bencana di kawasan ini. Bagimana mereka harus menyusun lagi satu demi satu bangunan kehhidupannya, setelah semua yang diperjuangkan puluhan tahun lamanya tiba-tiba hilang, tak cukup dalam semalam.
Ah, keadilan dan kesejahteraan memang bukan milik orang-orang desa. Orang-orang kota merampok hutan dan merusak alam, lalu kedamaian kecil di desa-desa terpencil yang penuh kearifan ini musnah dalam sekejap.

Makassar, 4 Agustus 2007 – 19 : 20 wita