pagi

Setangkai asa tumbuh di dekat jendela kamarku pagi ini,
Hei, tunggu…jangan beranjak dulu…
kan kuselipkan ia dirambutmu…
biar menemani letihmu hari ini…..

makassar, 14 februari 2007

belantara rangoan

Pulang ke Makassar, setelah 22 hari mengejar-ngejar informasi pesawat adam Air yang jatuh di sekitar perairan selat Makassar…kondisiku benar-benar drop, semalam meriang nahan demam. Padahal sebelum berangkat liputan musibah ini, aku baru 3 hari kelaur dari rumah sakit, diopname karena maag yang akut.
Lumayan melelahkan, jadi inget waktu pertama kali live dari pegunungan di Matanga Polewali Mandar. Kemudian informasi sesat tentang keberadaan pesawat di wilayah tersebut, sampai namaku yang ikutan-ikutan nongol di milis soal kebohongan publik itu…
Meski semua media massa secara berjamaah menyiarkan informasi sesat itu, tapi sialnya hanya namaku yang disebut di milis itu, lumayan bikin gerah juga, sebenarnya aku pengen melakukan sedikit klarifikasi, bahwa semua yang aku informasikan berasal dari sumber-sumber resmi yang berkompeten untuk itu…..aku juga gak pernah nyebut-nyebut telah melihat pesawat dalam keadaan hancur dan sejumlah korban yang tengah dievakuasi, seperti yang telah dilakukan sebuah stasiun televisi swasta, ataupun siaran berita di sebuah stasiun radio milik pemerintah.
Sebenarnya aku agak heran juga ketika pertama kali memasuki pegunungan Matanga itu, perasaanku wartawan yang pertama kesitu adalah tim Metro TV, bersama Basarnas dan Kodim setempat. Saat kami tiba, sejumlah warga keluar rumah sambil menenteng radio, dan menyampaikan bahwa telah mendengar siaran berita pesawat Adam Air tersebut telah ditemukan di desa Rangoan Kec. Matanga, Polewali Mandar. 90 penumpang tewas dan 12 lainnya selamat. Lho..info darimana???,
Lalu sekonyong-konyong Jakarta menelpon dan mengabarkan telah ada pernyataan resmi dari Danlanud, Menhub. juga pihak Adam Air bahwa pesawat memang benar telah ditemukan di Matanga, lengkap dengan penjelasan rinci mengenai kondisi pesawat dan penumpangnnya.
Tak lama setelah itu iring-iringan kendaraan aparat serta belasan ambulans dan mobil pejabat mulai masuk ke Matanga. Apa yang harus aku informasikan dalam live pertama siang itu?, saat itu kami berada di desa Bulo, desa terakhir yang bisa tertangkap sinyal handphone. Dari desa Bulo ke desa Rangoan tempat yang dikabarkan mejadi lokasi jatuhnya pesawat tersebut, masih puluhan kilo meter lagi, gak ada akses informasi yang bisa aku terima mengenai pergerakan tim SAR didalam sana, yang ada adalah hanyalah informasi-informasi resmi dari pihak-pihak berkompeten.
Meski demikian, aku belum pikun untuk mengingat-ngingat materi liveku siang itu, aku bilang bahwa lokasi pegunungan Matanga ini telah dipastikan sebagai lokasi jatuhnya pesawat (tentunya berdasar sumber resmi), namun sampai saat ini tim SAR masih berupaya mencapai lokasi jatuhnya pesawat didesa Rangoan, akibat beratnya medan yang harus ditempuh. Amelia Ardan sempat bertanya tentang informasi 12 korban selamat dan 90 yang meninggal dunia, jawabku, kami belum bisa memastikan apa-apa soal itu, memang beredar juga informasi tersebut disini, tapi belum ada yang bisa dijelaskan mengingat tim SAR masih terus melakukan upaya evakuasi.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa aku berani menggunakan kalimat tim SAR tengah melakukan evakuasi dan bukan tim SAR masih melakukan pencarian?. Semuanya kembali pada sumber resmi pemerintah yang menyebutkan telah menemukan lokasi jatuhnya pesawat Adam Air, logikanya jika keberadaan pesawat telah diketahui, artinya, proses evakuasi pasti telah berlangsung, meski dalam skala yang lebih kecil. Jika saja aku punya akses informasi langsung ke tim SAR yang berada di Rangoan, pastilah semuanya akan berbeda. Jangankan handphone, radio HT saja gak bisa nembus…aku jelas memilih untuk peraya pada informasi pemerintah, sebab mereka pasti punya peralatan komunikasi yang lebih canggih untuk megetahui pergerakan tim SAR maupun aparat di Rangoan. Kabarnya, pejabat-pejabat pemerintah, terutama kepolisian yang terkait langsung dengan sesatnya informasi soal jatuhnya pesawat Adam Air di desa Rangoan Kec. Matanga Polewali Mandar itu akan segera dicopot dalam waktu dekat.

*****

Lalu…penemuan serpihan pesawat oleh warga di desa Logie kecamatan Mallusetasi kabupaten Barru oleh warga setempat, telah menyibat misteri hilangnya pesawat Adam Air tersebut, meski hingga saat ini keberadaan badan pesawat belum juga ditemukan. Tapi setidaknya penemuan-penemuan tersebut telah memberikan sedikit kepastian bagi keluarga korban yang lelah menanti hasil pencarian tersebut.
Serpihan-serpihan yang terkumpul di Koramil Mallusettasi itu, sebagian besar berada dalam kondisi remuk, seperti diremas-remas. Kursi-kursi, meja makan pesawat, dan potongan-potongan badan pesawat lainnya…..aku mencoba membayangkannya, saat-saat terakhir para penumpang dipesawat itu. Betapa kerdilnya manusia, betapa berkuasanya Allah atas segala sesuatu……….


Makassar, 23 Januari 2007

hmmm..susah banget

Hmmm..susah banget bisa cepat pulas belakangan ini, padahal konsekuensinya udah jelas..live pagi dengan menuai protes disana-sini, bahwa "matanya kok bengkak banget" atau " pasti gak mandi ya bud, minimal cuci muka..", atau..ah, susah juga, susah tidur, susah bangun, susah ngilangin efek mata bengkak, susah buang semua masalah-masalah yang gak bosan-bosannya ngejar-ngejar......
malam ini agak sentimentil, lagu-lagu di komputer ini lumayan bikin remuk, menambah kompleks semua yang udah kompleks. Duh..jadi makin rumit rasanya. Gak tau juga mau nulis apa..tapi pokoknya nulis saja....
Sudahlah..jangan terlalu dipikir, soal sesuatu yang tiba-tiba hilang itu, biarkan saja. Emang udah begitu, gak ada yang abadi..segala sesuatunya memang selalu seperti itu, datang dan pergi begitu saja. Dalam hidup, bukankah kita udah sering banget kehilangan sesuatu, kemudian kita bersedih karenanya..tapi setelah itu, selalu saja sesuatu yang baru berdatangan, kemudian hilang kembali ketika tiba saatnya, lalu datang lagi yang baru..kemudian pergi..dan begitu seterusnya...
Harus lebih bersyukur atas semua yang telah dimiliki, biasanya, sesuatu itu baru terasa penting saat kita telah kehilangan. Bisa berada di depan komputer dalam keadaan sehat walafiat dan mendengar lagu-lagu melankolis ini saja adalah sesuatu yang perlu untuk disyukuri, bayangkan jika malam ini, ternyata malah berada di rumah sakit, terbaring karena penyakit komplikasi yang gak kunjung sembuh ?.
Hmmm..sudah saatnya untuk istirahat, setidaknya dipaksakan untuk bisa lelap. Produser pagi udah nelpon, nanyain lead live pagi, jangan kesiangan, jangan bangun dengan mata bengkak..............

Makassar, 13 september 2006

hukuman mati


Apa yang sedang dipikirkan Tibo, Marinus dan Dominggus?, apa yang mereka rasakan?. Dalam derasnya hujan menghitung mundur waktu kematian, apakah mereka berpikir hujan akan membuat dingin peluru yang menembus jantung?. Aku selalu memikirkan tentang itu, mencoba mereka-reka apa yang ada dalam kepala seorang terpidana mati, saat menunggu datangnya detik-detik eksekusi.
Dari depan Lembaga Pemasyarakatan Petobo Palu, yang bisa aku lakukan hanyalah menunggu, meski sejak sore hingga tengah malam hujan terus mengguyur dengan derasnya…
Ibu Fitri, seorang petugas Lapas Petobo bercerita, malam itu, sekitar pukul 12 : 30, saat hujan deras telah menyisakan rintik-rintik. Sejumlah petugas Lapas menjemput para terpidana mati tersebut diruang isolasi mereka. Dominggus dan Marinus, mencengkeram erat jeruji besi penjara, dengan gemetar menarik nafas panjang yang terakhir kalinya, mengikat erat tali sepatu, kemudian keluar dengan tangan diborgol, tapi mata mereka tidak ditutup sama sekali.
Jumat dini hari, ditengah hujan rintik yang dingin, di kawasan bukit Soeharto Ngatabaru, disekitar markas kompi B Brimobda Sulawesi Tengah, sekitar pukul 01 : 30 dini hari, semuanya menjadi senyap di ujung peluru regu tembak Brimobda Sulawesi Tengah. Tak ada yang tahu, semuanya dilakukan dengan begitu rapi. Iringan-iringan kendaraan rantis dan ambulance yang menyeruak dari dalam Lapas Petobo tengah malam itu, hanya kamuflase, untuk mengecoh para wartawan yang telah menunggu sejak pagi di depan Lapas. Kenyataannya, Tibo, Marinus dan Dominggus, dibawa keluar dengan menjebol pagar belakang Lapas.
Kemarin, di perjalanan pulang ke Makassar, sepanjang jalan diluar kota Poso hingga Tentena dan sekitarnya. Rumah-rumah mengibarkan bendera merah putih setengah tiang, tanda duka untuk eksekusi bagi ketiga terpidana mati kerusuhan Poso itu. Disaat yang sama para keluarga korban kerusuhan Poso juga menyatakan kepuasan mereka atas hukuman mati tersebut. Hukum memang selalu menemukan jalannya sendiri, tapi orang-orang akan selalu melihat kebenaran dari banyak sisi, dari sudut pandang masing-masing…..

Makassar, 26 September 2006 – 10 : 39 wita

kota para mullah


Aku akhirnya sampai di kota ini, bagi orang seperti aku, hanya sebuah keberuntungan dari sempitnya kesempatan yang dapat membawaku kesini. Seorang sahabat pernah berkata “Datanglah ke kota kami, dimana kami belajar dan mendalami ilmu. Barangkali engkau akan menemukan wajah kami yang sesungguhnya di sana. Kami masih setia menjaga tradisi ke Islaman kami…”
Ini adalah kota para Mullah, jika ingin melihat Iran yang “sesungguhnya”..datanglah di kota ini, Qum, kota dimana tradisi keislaman dan keilmuan masih terjaga dengan baik, setidaknya aku merasakan susana seperti itu disini, seperti ketika kulihat perempuan-perempuan bercadar dan berjilbab besar, dan pria-pria bersorban di jalan-jalan kota.
Kami mampir di Universitas Imam Khomeini, dan dipintu masuk Universitas itu sebuah keset kaki bergambar bendera Israel tergeletak dengan lucunya. Sementara pada tembok universitas bendera Palestina terpanjang dengan anggunnya. Didalam kampus, kerumunan mahasiswa berkumpul pada sebuah stand kecil yang memamerkan foto-foto perjuangan bangsa Palestina dan menampilkan video-video jihad. Juga perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan kitab-kitab. Sayang aku tak bisa terlalu leluasa mengambil gambar di lingkungan universitas ini, karena larangan dari pihak kampus.
Semalam aku di“culik” sama Juliadi dan Nur, dua anak Makassar yang belajar di Qum-Iran. Pertemuan tak terduga di KBRI di Tehran itu telah membawaku ke kota ini, hanya sekitar 200 km dari Ibu Kota Tehran, atau sekitar 2 jam perjalanan darat. Meski sebelumnya KBRI telah mewanti-wanti agar para jurnalis yang ikut dalam rombongan misi kebudayaan dan pariwisata Indonesia di Iran ini, tidak meliput hal-hal lain diluar kegiatan delegasi. Tapi alhamdulilah, dengan sukses aku bisa melanggar larangan-larangan itu hehehe…,jauh-jauh ke Iran, aku tak mau hanya bisa meliput pagelaran kesenian Indonesia.
Di kota ini, ribuan mahasiswa dari sekitar 90 negara datang menuntut ilmu disini, termasuk diantaranya sekitar 200 mahasiswa dari Indonesia. Mereka belajar dengan beasiswa para ulama, kebanyakan diantara mereka mengambil mata kuliah filsafat islam dan ilmu tafsir. Mereka kuliah dikampus-kampus yang telah disediakan khusus bagi pelajar yang datang dari luar Iran, seperti Universitas Imam Khomeini, Universitas Hujjatiah dan Universitas imam Shodiq.
Kota ini telah menjadi pusat pendidikan kaum Syiah saat ini, dahulunya berada di kota Najaf Iraq, namun pada masa kekuasaan Saddam Husein pusat pendidikan kaum syiah tersebut dipindahkan ke kota Qum. Para ulama-ulama besar Iran seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahari dan Allama Tabatabai dahulunya juga pernah belajar dan mengajar di kota ini.
Banyak hal yang berkecamuk dikepalaku, keinginan untuk mengetahui sesuatu yang lebih jauh di kota ini harus berperang dengan sempitnya waktu. Entah, kapan lagi aku bisa kembali ke tempat ini, karena bagi orang seperti aku, ini hanyalah sebuah peruntungan dari sempitnya kesempatan yang dapat membawaku ke kota ini, dimana tradisi keislaman dan keilmuan masih terjaga dengan baik.…..

Makassar, 01 Agustus 2006 – 22 : 41 wita

kota di tengah hutan

Kota ditengah hutan itu benar-benar ada. Sebuah kota yang dikelilingi hutan, dimana batas-batas jalan ataupun halaman-halaman rumah, pusat-pusat perbelanjaan dan kantor-kantor adalah pepohonan lebat.
Kuala Kencana, kota ini dibangun ditengah hutan oleh perusahan tambang emas raksasa di Timika Papua. Sepertinya PT. Freeport memang tidak tanggung-tanggung membangun kota kecil sebagai kawasan hunian ribuan pekerja pabrik mereka. Sebuah kota ideal yang dirancang sebagai tempat melepas penat dan stress para pekerja pabrik yang berpacu dengan target-target produksi.
Aku melihat banyak wanita-wanita bule yang berseliweran di kawasan itu, barangkali mereka istri bule-bule petinggi Freeport. Sejenak aku seperti merasa barada diluar negeri, apalagi melihat deretan coklat, buah-buahan, sayuran dan aneka makanan berlabel luar negeri yang terpajang dengan manisnya di rak-rak swalayan. Seperti sebungkus wortel dan kol made in Australia itu, entahlah, apakah barangkali orang-orang Papua memang gak bisa menanam sayur mayur semacam itu?
Kota di tengah hutan itu, memang tak mudah untuk masuk kesana, meski hanya untuk jalan-jalan melihat-lihat keadaan. Sebuah pos penjagaan dan pemeriksaan telah disiapkan di gerbang kota. Hanya mereka-mereka yang memiliki ID card khusus dari Freeport yang dapat melangkah dengan bebas melewati garis gerbang. Bahkan polisi-polisi seperti Kapolres Timika, kulihat juga mengantongi ID card. Untuk pertama kalinya aku melihat polisi punya ID card yang menggantung di saku seragamnya. Hehehe….Jangan-jangan lencana sang Kapolres sudah tak ampuh lagi.
Kalaupun aku sendiri bisa masuk kesana, semua itu berkat Georgerius Okuare. Seorang pemuka suku Kamoro, yang merupakan salah satu suku asli pemilik tanah Timika. Di Timika, dua suku asli pemilik tanah emas itu adalah suku Kamoro dan Amungme. Dan sebagai pemuka suku Kamoro, Gery, tentunya memiliki banyak akses untuk bisa sedikit lebih leluasa hilir mudik di kawasan pertambangan emas terbesar di dunia itu.
Tapi jelas Gery tentunya tak bisa disamakan dengan masyarakat suku Kamoro atau suku Amungme lainnya. Sebab warga-warga biasa Kamoro dan Amungme, aku masi melihat mereka antri untuk mendapatkan ID card khusus tersebut. Ah…apa yang terjadi dengan negara ini…orang-orang kini hanya dapat masuk ke rumah mereka sendiri dengan sebuah ID card khusus dari negara lain.

Makassar, 03 Mei 2006 – 00 : 36 Wita

cinta yang tak pernah letih

Ayah dan juga almarhumah ibu, memang gak pernah meminta apa-apa pada kami berlima, apalagi meminta sesuatu bernilai materi. Melihat kami mampu berdiri diatas kaki sendiri adalah sesuatu yang jauh lebih bernilai dari apapun juga.
Tapi kali ini, setelah hampir dua tahun kerja, senang rasanya bisa beli sesuatu yang baru buat Ayah, meski hanya sebuah handphone yang gak seberapa harganya. Baru sebatas itu kemampuanku, gak seperti kakak-kakaku yang udah duluan “berpartisipasi” setelah semuanya bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik.
”gak perlu yang ada kamera, yang biasa-biasa saja. Asal bisa di pake buat menelpon dan menerima telpon” ujar Ayah, suatu ketika saat dia mulai lelah memenjet tombol HP Nokia 3310nya yang mulai kalah. Nokia sejuta ummat itu dulunya juga warisan dari aku, ku berikan handphone itu buat Ayah setelah aku dapat yang baru dari Kakak Yatie
Untuk Ayah dan Ibu, sampai kami bisa seperti saat ini…..terima kasih untuk cintanya yang tak pernah letih.

Makassar, 18 Agustus 2006

kampung yang hilang

Berjalan kaki menuju desa Bonto Katute kecamatan Sinjai Tengah bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, apalagi bagi orang seperti saya yang nyaris tak pernah melatih fisik untuk menempuh perjalanan jauh , mendaki dan melalui jurang-jurang terjal akibat longsor.
Luki Savitry, repoter Jakarta itu kulihat beberapakali menghapus butir-butir keringat yang bercampur air hujan di wajah moleknya. Beberapa kali dia berujar kalau kakinya serasa mau copot, aku senyum-senyum saja....pura-pura terlihat masih kuat dan tangguh, padahal sejujurnya dari tadi aku ingin bertukar dengkul dengan tentara-tentara Yonif 726 itu.
Setelah melewati beberapa titik longsoran kami akhirnya harus berhenti sejenak, sebuah longsoran baru akibat hujan semalam dengan panjang ratusan meter, telah menutup satu-satu jalan yang biasa dilewati. Ada jutaan kubik material longsor yang labil dan membentuk jurang yang terjal.
Kulihat prajurit-prajurit dari Yonif 726 Tamalatea itu berpikir keras, bagaimana dapat menembus longsoran itu dengan membawa barang-barang bantuan bagi pengungsi yang terisolir. Sapertinya tak ada jalan lain selain menuruni lembah dan kemudian menyeberang untuk sampai di desa sebelah.
Jalanan becek penuh lumpur dan hujan yang terus mengguyur membuat setiap orang harus lebih berhati-hati, Beberapa lembah di kawasan itu sebagiannya telah menjadi rata karena timbunan lumpur, sangat berbahaya jika menentukan pijakan yang tidak tepat saat melangkah, kita bisa tenggelam dalam timbunan lumpur yang dalam.
Prajurit-prajurit TNI itu harus menggotong tangki air besar dan sejumlah peralatan sanitasi lainnya bagi para pengungsi di desa-desa terisolir. Dan aku tentunya harus bisa mengabadikan beratnya perjalanan pendistribusian bantuan tersebut lewat lensa kameraku.
Banjir bandang dan tanah longsor dikabupaten Sinjai membuat banyak desa di berbagai kecamatan di daerah tersebut terisolir akibat terputusnya jalur transportasi darat. Distribusi logistik bantuan bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya bagi para korban bencana, kebanyakan harus dilakukan dengan berjalan kaki hingga puluhan kilo meter.
Sekitar 200 lebih nyawa melayang dalam musibah ini, sementara ribuan warga lainnya kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya. Diatas tanah longsoran itu aku berpijak pada sebuah papan, sepertinya bekas bangunan rumah yang telah rata dengan tanah, jadi teringat dengan cerita beberapa teman dari tim SAR tentang sejumlah perkampungan warga yang hilang akibat tertimbun tanah atau tersapu banjir bandang.

Makassar, 8 juli 2006 – 09:34

obrolan di dapur

Waktu liputan di Papua dulu, Hendrawan Setiawan, teman dari biro Jogja itu pernah bilang, kalo aku cukup beruntung ada di Makassar, kota yang nyaris selalu diisi keributan dan bikin produksi berita jadi gak ada matinya. Mahasiswa yang tawuran, bentrok antar warga, hingga eksekusi tanah yang berbuah perang.
Nggak kayak di Jogja Bud, kalopun ada demo, palingan demonya anak-anak Papua atau demo KAMMI soal Palestina” katanya, dalam sebuah perbicangan rutin kami setiap pagi di pojok dapur rumah kontrakan, dapur yang sempit itu memang selalu ramai setiap pagi, saat anak-anak memperbincangkan banyak hal sambil ngopi dan masak sarapan pagi.
Melihat gempa di Jogja dan Jawa Tengah yang menewaskan ribuan orang dan meluluh lantakkan ribuan rumah itu tiba-tiba saja mengingatkanku pada obrolan-obrolan kami waktu liputan pilkada Papua ketika itu. Jadi ingat cerita Hendrawan tentang kota Jogja yang tenang, tapi gempa yang berlangsung tak cukup dari 1 menit itu kini membuat kota itu jadi amat sangat “ramai”. Dan sampai saat ini berita-berita soal gempa di Jojakarta itu masih terus meramaikan segmen demi segmen dari tayangan berita-berita televisi maupun surat kabar.
Sebenarnya aku tidak bermaksud bercerita tentang daerah mana di Indonesia yang lebih ramai dalam soal produktivitas berita, tidak, sama sekali bukan soal itu. Aku hanya tiba-tiba berpikir tentang betapa berkehendaknya Allah atas segala sesuatu, tentang betapa tidak berdayanya manusia ketika sebuah bencana datang, adakah diantara kita yang bisa mengelak ketika sesuatu telah ditetapkan oleh Yang Maha Berkehendak. “kun fayakun, jadi, maka jadilah !!”.
Belakangan ini, aku merasa makin jauh dari Allah. Masih terus melakukan kesalahan yang sama, masih terlalu angkuh. Padahal apa yang bisa disombongkan?. Tubuh ini cuma setitik debu dari semesta yang maha luas. Kenapa hanya untuk lebih menundukkan kepala jadi begitu susah ?.

Makassar, 07 Juni 2006 – 09 : 40

foto dari masa lalu

Dua buah KTP dengan alamat Makassar dan Jayapura, sejumlah kartu ATM dari beberapa bank yang telah kadaluarsa, kwitansi-kwitansi, beberapa lembar koleksi duit kertas baru yang masih licin, semuanya boleh saja raib jika memang sudah saat untuk kembali pada asalnya.
Aku telah mengikhlaskan kepergian dompet itu, meski dengan sedikit perasaan sedih. Tapi tak apalah, sebab bukankah ini adalah sesuatu yang lumrah dalah sebuah proses hidup. Gak ada yang abadi, semuanya kerap datang dan pergi begitu saja. Dalam hidup kita udah sering banget merasa kehilangan atas sesuatu, tapi besoknya sesuatu yang baru biasanya selalu saja bermunculan, kemudian hilang ketika tiba saatnya, lalu datang lagi sesuatu yang baru dan begitu seterusnya.
Sudahlah…dompet coklat itu entah dimana, bersama sejumlah foto-foto masa kecilku yang terselip di dalamnya. Kusimpan foto-foto culun itu didompet, biar selalu bias dibawa kemana-mana. Setidaknya dalam penatnya langkah yang dijejaki, ada sesuatu yang menyejukkan saat memandang foto-foto itu. Ikhlaskan saja semua isinya, anggap saja sebagai sesuatu yang telah disedekahkan.
Sebenarnya aku kurang begitu suka memakai dompet, menyimpannya di saku celana belakang kerap membuat kartu-kartu ATM dsb yang bermukim didalamnya jadi patah. Seingatku, aku Cuma sekali membeli dompet. Saat awal-awal kuliah dulu, itupun nyaris tak terpakai. dan kalaupun hari ini aku punya sebuah dompet, itu hanya kebetulan sebagai hadiah ulang tahun dari pacarku yang dulu “ biar diinget-inget, harus selalu ada isinya. Udah saatnya untuk mikir masa depan” begitu katanya.

Seorang ibu yang tengah hamil tua, sambil menggendong seorang bayi, datang ke rumah Kika pagi itu. Mengembalikan sebuah dompet coklat yang di temukan anaknya beberapa malam yang lalu. “ saya gak tau ini dompet siapa, tapi saya liat ada fotonya Ika disini” Ujar ibu muda itu.
Aku tentunya amat bersyukur dengan kembalinya dompet itu, kuperiksa isinya, tentunya setelah ibu itu berlalu. Semuanya masih utuh, kecuali koleksi beberapa uang kertas baru yang entah dimana. Aku berprasangka baik terhadap ibu muda itu, barangkali dia penemu yang kesekian setelah jatuhnya dompet. Tapi demi Allah, aku telah mengikhlaskan semuanya, termasuk siapapun sang penemu pertama.

Makassar, 02 Mei 2006 – 23 : 45 Wita

sepotong poster bintang kejora

Agak bingung juga, dari mana sebaiknya memulai cerita tentang kota ini. Dulunya saat pemerintah Hindia Belanda masih bercokol, orang-orang menyebut kota pantai ini sebagai Hollandia, lalu kemudian berganti nama menjadi Sukarnopura saat gelora revolusi 45 menyesak kesetiap sudut nusantara. Kota ini juga pernah disebut sebagai Port Numbay, yang kemudian menjadi Jayapura hingga saat ini.
Dua bulan liputan Pilkada Papua dan kasus bentrok yang menewaskan 5 petugas keamanan di Abepura Jayapura, menyisakan banyak hal yang mengendap dalam memori. Tanah Papua, sebuah wilayah subur yang penuh gelora. Menurutku ada “sesuatu” di Papua yang terus bergerak, seperti borok yang kelak meletus dan mengoyak pori-pori.
Di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Cenderawasih, kami menemui seorang pria asli Papua, seorang mantan tahanan politik yang pernah mendekam di penjara selama 16 tahun karena dianggap telah melakukan tindakan makar yang membahayakan eksistensi NKRI. Dia berbicara tentang keinginan rakyat Papua untuk merdeka, memisahkan diri dari Indonesia. Menurutnya hingga saat ini kemerdekaan yang hakiki bagi seluruh rakyat di Bumi Cenderawsih adalah sesuatu yang harus terus di perjuangkan.
Kami mewawancarainya dengan sepotong poster perjalanan para pencari suaka dari Papua ke Australia, lengkap dengan gambar bendera Bintang Kejora ditanganya. Suaranya sedikit bergetar dalam wawancara khusus yang singkat itu. Sejujurnya aku sedikit khawatir, pria ini akan segera di tahan setelah tanyangan wawancara ini dimuat. Tapi kantor rupanya tak mau menayangkan liputan itu. Entah, aku harus kecewa atau apa, tapi mungkin saja semua ini ada baiknya juga.
Di Jayapura, mulai dari pusat-pusat perbelanjaan hingga ke pertokoan-pertokoan di sepanjang kota lebih banyak di isi oleh para pendatang yang berseliweran di dalamnya. Di pasar tradisonal, para penduduk asli boleh sedikit ramai ditemui, tapi warung-warung makan dan kios-kios pakaian dan sembako masih tetap di dominasi oleh para pendatang. Lepas dari fakta bahwa masyarakat asli memang telah kalah dalam sebuah pertarungan ekonomi yang benar-benar fair, tapi aroma kesenjangan social dan ekonomi antara pribumi Papua dan kaum pendatang jelas begitu terasa disana.
Aku rasa, pemerintah harus lebih arif dalam melihat tanah dan juga rakyat Papua. Ada dosa masa lalu yang mungkin secepatnya harus dibenahi….jika kita benar-benar tidak ingin kehilangan sejengkal tanah untuk yang kedua kalinya.


Makassar, 9 April 2006 – 17 : 02 Wita

keluarga mononage

Dua jasad pasangan suami istri itu terbujur kaku, sementara disisi kedua petih jenazah tersebut empat orang anak mereka yang masih belia tak kuasa menahan kesedihan. Ledakan bom di pasar khusus penjualan daging babi Palu Sulawesi Tengah terebut telah merenggut keutuhan keluarga kecil terebut.
Yopi Mononage dan Memeiso, kedua jenazah yang terbujur kaku di peti jenazah tersebut, adalah penjual babi di pasar Maesa Palu. Menurut Wawan, salah seorang putra Yopi dan Memeiso, ada kemungkinan bom tersebut tepat berada dibawah meja tempat kedua orang tuanya berjualan. Yopi dan Meiso, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dengan kondisi tubuh yang hancur pada bagian kaki dan perut.
Sungguh, aku benar-benar diselimuti kesedihan, saat mengabadikan peristiwa pemakaman keduanya dibalik lensa kameraku. Aku berpikir tentang keluarga itu, tentang ke empat anak Yopi dan Memeiso yang masih belia, tentang hari-hari yang mereka lalui selanjutnya. Sungguh peledakan bom di pasar tersebut adalah sebuah kebiadaban.
Ledakan tersebut merenggut tujuh korban jiwa dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Bahkan sebagian diantara korban luka tersebut harus pasrah saat dokter memfonis, bahwa untuk keselamatan jiwa mereka, tak ada jalan lain, kaki mereka harus diamputasi!.
Banyak diantara mereka yang harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Korban lain yang juga pasangan suami istri adalah seorang prajurit TNI yang bernama Tasman dan Istrinya, keduanya meninggal di tempat kejadian, dan meninggalkan dua putra yang masih anak-anak.
Kekerasan di Sulawesi Tengah seperti tak pernah menemukan ujung pangkalnya, mulai dari kasus bom Tentena, pemenggalan dan penembakan siswa SMU di Poso dan yang terakhir adalah ledakan bom di pasar Maesa Palu. Entah siapa yang harus diminta pertanggung jawabannya, sebab teror diilayah ini bergerak seperti hantu….

Palu, Januari 2006