pesan yang tak pernah sampai

Malam itu ia menelponku, dengan semangat ia bercerita tentang baku tembak yang dialaminya, saat kelompok bersenjata tak dikenal menyerang rombongan patrolinya di mil 54 PT.Freeport beberapa hari lalu. "kau bayangkan mukaku yang hitam ini, menjadi putih saat mobilku diberondong senjata dari arah hutan..." katanya sambil tertawa. Sayapun tertawa, membayangkan kejadian menegangkan itu kok seperti sebuah cerita lucu baginya.
Sebelum menutup telpon ia berjanji, besok pagi jika sudah kembali berpatroli di kawasan pertambangan itu, ia akan mengirimkan kabar via SMS padaku, tentang perkembangan situasi keamanan di kawasan tersebut. Sebenarnya saya ingin menemuinya, tapi sepertinya ia terlampau sibuk dengan tugas pengamanan di perusahan tambang Amerika itu. Setelah dalam beberapa hari terakhir kawasan itu kerap di serang kelompok bersenjata tak dikenal.
Saya mengumpulkan sisa-sisa ingatan, coba menerka-nerka, seperti apa wajahnya sekarang, setelah 11 tahun tak pernah bertemu muka, apakah ia masih setambun dulu? saat berlalu-lalang di koridor sekolah dengan seragam polisi keamanan sekolah yang ia banggakan. Saya berharap bisa bertemu muka dengannya, dan membanding-bandingkan, antara seragam polisi keamanan sekolahnya dulu dan seragam Brimob yang sudah ia kenakan saat ini. Tentunya ia akan jauh lebih terlihat gagah.

*****

Kemarin pagi, begitu tiba di Polres Timika, saya mengrim SMS padanya, bertanya perkembangan terbaru di jalur rawan tersebut. Saya juga menanyakan kebenaran informasi kecelakaan mobil patroli di mil 45 PT.Freeport, yang menewaskan satu anggota Brimob. Tapi hingga siang hari SMS itu tak ada balasannya. Saya menunggu, mencoba menelpon, tapi tak bisa tersambung, barangkali ia terlampau sibuk berpatroli.
Tapi tak lama setelah itu, radio polisi di pos jaga Polres Timika mengirim kabar, meminta bantuan ambulans, juga melaporkan nama dan pangkat dari anggota Brimob detasemen B Timika Papua, yang tewas dalam kecelakaan di mil 45.
Laporan di radio polisi itu membuat saya lemas, tak bisa berkata apa-apa lagi, saya akhirnya mengerti, kenapa SMS-ku itu tak pernah ia balas....ah, gemetar jari-jari ini, saya benar-benar sedih, tak tahu,bagaimana caranya menulis berita tentang kematian teman sendiri....

Timika, 23 Juli 2009 - 10.00 wit

"....duka mendalam untuk Brigadir Ismail Toduho, yang meninggal dunia dalam kecelakaan mobil patroli di Mil 45 PT. Freeport, semoga Allah memberimu tempat terindah di nirwana. Saya akhirnya berhasil menemuimu di kota hujan ini, meski tak bisa sedikitpun melihat wajahmu, hingga pesawat pagi itu menerbangkanmu ke Tidore, ketempat peristirahatan terakhirmu...selamat jalan kawan...."

tentang senyuman

Saya tak pernah melihat senyuman seperti itu, ia tersenyum seperti seseorang yang sakit karena menjadi orang yang terlupakan, juga karena ditinggal pergi sahabat-sahabat yang berkhianat dalam perjuangan. Wajahnya murung, meski saat bicara ia selalu berusaha bersikap secara wajar. Sinar matanya terlihat lelah, juga menyimpan kekecewaan yang teramat dalam.
Saya menaruh hormat kepada laki-laki bugis itu, terlepas dari semua penilaian berbeda dari orang-orang yang melihat sosoknya dari sisi yang lain. Tapi saya menaruh harapan besar pada gagasan-gagasannya, juga pada komitmennya pada kemandirian dan bagaimana membangun jati diri bangsa yang jauh lebih bermartabat. Bukan sebuah pemerintahan yang suka mengemis pada ketiak bangsa asing.
Setidaknya seperti itulah pilihan politik saya, dan saya menghormati mereka yang punya pilihan berbeda, sekalipun pilihan politik saya menempatkan saya pada urutan paling minor dalam kalkulasi demokrasi. Toh, Tuhan juga tidak pernah melihat kebenaran berdasarkan suara terbanyak.
Kemarin ia bilang akan pulang kampung, mengurus sekolah, masjid dan juga perdamaian. Jika proses demokrasi ini tak membawanya pada tempat yang ia inginkan. Saya pikir niat seperti itu akan jauh lebih mulia nilainya. Pulanglah pak.., kami tunggu....:)

Makassar, 9 Juli 2009 - 13.30 wita

permintaan cerai

Tegar, bocah berusia empat tahun itu, terbaring lemas karena kaki kanannya baru diamputasi hingga mendekati lutut, oleh tim dokter RSUP Soedono Madiun. Sebelumnya, pada suatu siang yang sunyi di rumahnya di Mejayan Madiun Jawa Timur, tanpa sepengetahuan anggota keluarga yang lain, diam-diam Tegar di gendong ayah tirinya Puryanto, dan membawanya ke pinggiran rel kereta api.
Dibantaran rel kereta itu, Puryanto kemudian meletakkan kaki kanan bocah itu diatas rel, dan membiarkan kereta api Bangun Karta jurusan Jakarta Jombang yang lewat menggilas kaki bocah malang tersebut. Tegar, bocah itu se-tegar namanya, setelah peristiwa tragis itu, ia masih sanggup merangkak menuju rumah hingga ditolong oleh keluarganya yang lain.
Saya terhenyak membaca naskah berita Nur Salam, kontributor Madiun Jawa Timur di email korlip siang ini. Puryanto ayah tiri Tegar, melakukan tindakan biadab itu karena kesal setelah istrinya minta cerai. Arrgghh...saya tak habis pikir, ada apa dengan kita? ada apa dengan Puryanto?. Bisakah ia membayangkan bagimana sakitnya bila kaki dilindas kereta api?. Seberapa sakitkah luka hati Puryanto karena cintanya ditampik sang istri?.
Betapa sederhananya alasan Puryanto, sampai ia tega melakukan perbuatan se-keji itu, meletakkan kaki bocah empat tahun diatas rel hingga dilindas kereta api...hanya karena kesal diminta cerai sang istri?...gggrrrrr...

Makassar, 6 Juli 2009 - 14.30 wita