Bukan Sekedar Hari di Ujung Tahun

Ini bukan sekedar hari di penghujung tahun 2011....
tapi juga hari untukmu istriku...
Selamat ulang  tahun my lovely Mezayu,
terima kasih telah menjadi bunda nomor satu di dunia untuk saya dan Zee...

Makassar, 31 Desember 2011 -  19:23 wita

Catatan Desember

## Prajurit di Batas negara

Siang itu kami diantar Mayor Iman, Wakil Komandan Batalyon 141 Aneka Yudha Jaya Prakosa yang bertugas menjaga perbatasan Indonesia - Papua Nugini menuju ke distrik Waris Kabupaten Keerom Papua. Butuh perjalanan sekitar dua jam dari pusat komando utama di daerah Arso menuju ke distrik Waris.
Dalam sejarah, distrik Waris ini adalah lokasi pertama kalinya terjadi pemberontakan kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), pada tanggal 1 Juli 1971. Ketika itu para pemberontak yang terdesak oleh TNI kemudian melarikan diri ke Papua Nugini melalu distrik Waris.
Memang dalam beberapa tahun terakhir, situasi keamanan di kabupaten Keerom ini jauh lebih kondusif, menurut informasi, peristiwa terakhir penyerangan kelompok bersenjata itu sekitar tahun 2006 yang dipimpim tokok OPM di wilayah Arso Lamberq Peukikir disebuah kantor perkebunan kelapa sawit di Arso. Lalu bila situasi cenderung kondusif, apa musuh terbesar para prajurit ini selama bertugas??

"Musuh terbesar kami adalah rasa rindu kepada keluarga, dan juga serangan nyamuk malaria Papua yang terkenal ganas. Sinyal handphone susah disini, untuk menelpon keluarga, kami harus berjalan kaki beberapa kilo meter ke arah bukit-bukit disekitar pos penjagaan." cerita seorang prajurit.

Kata Wadanyon 141 AYJP Mayor Iman, ada banyak peraturan yang mengikat para prajurit yang dikirim tugas seperti ini, diantaranya tak boleh dijenguk keluarga atau menjenguk keluarga. Boleh pulang menjenguk keluarga dengan catatan harus dengan alasan yang kuat. Contoh alasan yang kuat adalah, bila istri atau anak prajurit yang bersangkutan meninggal dunia. Selain itu tidak diperbolehkan, hal ini demi menjaga konsentrasi dan fokus prajurit selama masa tugas.

"Anak-anak kami sudah bosan menanyakan kapan ayahnya pulang, dan kamipun sudah bingung mencari lagi alasan kenapa belum pulang-pulang juga hehehe... " kata Mayor Iman sambil tertawa.

[Melihat langsung kehidupan para parajurit di tapal batas menjadi pengalaman baru bagi saya. Mendengar paera prajurit itu bercerita tentang rindu pada keluarga, hal pertama yang langsung melintas dibenakku adalah wajah putriku Azeeta Sasmaya. Hmm..maafkan ayah, dua bulan terakhir ini sering pergi meninggalkanmu dan bunda. Jangan sedih, tetap semangat, makan yang banyak biar kuat dan sehat. Suatu hari nanti ayah akan mengajakmu melintasi garis demi garis pada peta, biar kau paham bahwa ada banyak dunia yang lain, diluar dunia dalah hidup keseharian kita.]


*******

## Aples Tecuari dan Rocky Putiray

Kami mencari kampung Berap distrik Nimbrokang kabupaten Jayapura. Menyusuri hutan-hutan yang sepi tanpa pemukiman warga dengan stok bensin yang kian menipis, dan tersesat beberapa kali membuat kami sedikit cemas. Tapi tanggung bila harus kembali ke kota, perjalanan sudah terlalu jauh, tak boleh pulang sebelum misi berhasil.
Malam itu kamis dini hari tanggal 1 Desember 2011, bertepatan dengan perayan HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM), dua anggota polisi diserang warga di kampung Berap, satu berhasil selamat, dan satunya lagi Brigadir Ridwan Napitupulu akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit Bhayangkara Kota Raja Abepura.
Kekerasan bernuansa politik yang terjadi di tanah Papua itu telah merenggut banyak korban jiwa, rakyat dan juga aparat. Papua seperti "mainan" bagi banyak pihak dengan berkedok separatis dan proyek keamanan untuk tujuan-tujuan ekonomi. Lalu siapakah yang meraup untung dari kekacauan di tanah Papua?? hmm...tanyakan pada rumput yang begoyang dan juga kepada Negara !!.
Ada hal menarik dari perjalanan mencari kampung Berap ini, ketika kami nyaris putus asa karena tersesat dan kehabisan bensin, kami terselamatkan setelah bertemu seorang babinsa TNI di kampung Genyem distrik Nimbrokang. Saya tak ingat pangkat pak babinsa itu, karena saya lebih tertarik dengan tulisan huruf kapital di papan namanya,A. Tecuari.
"Lho? jangan-jangan bapak babinsa masih keluarga dengan mantan pemain bola timnas Indonesia awal tahun 2000-an, Aples Tecuari" Tanya saya penasaran.
Dan jawabannya mengejutkan !! " Benar, saya kaka kandung dari Aples Tecuari, sekarang Aples sedang kursus pelatih, rencana dalam waktu dekat ini akan ke luar negeri" kata pak Babinsa Tecuari penuh bersemangat.

Rupanya disiinilah seorang Aples Tecuari berasal,di perkampungan sepi di tengah-tengah rimba Papua ini telah lahir seorang pemain sepak bola berbakat, banyangan saya terbang ke masa lalu, mencari-cari dimanakah lokasi Aples kecil mulai berlatih sepak bola di tengah hutan seperti ini?. Saya juga teringat dengan PSSI yang menurutku bego-nya segede stadion. Justru organisasi inilah yang merusak sepak bola Indonesia, membunuh semangat dan benih-benih pe-sepak bola unggul yang mungkin saja akan lahir kembali dari kampung-kampung terpencil seperti ini.
Menemukan pak babinsa Tecuari ini, juga mengingatkan saya ketika liputan di Ambon tahun 2008 silam. Saya bertemu dengan Doni Putiray, seorang sopir mobil rental, yang ternyata adalah kaka kandung dari Rocky Putiray, mantan striker timnas Indonesia sejaman dengan Aples. Saya masih ingat, bagaimana abang Dony itu dengan dialeg Ambon yang khas dan cepat, bercerita tentang Rocky Putiray yang pernah dua kali menjebol gawang klub raksasa Italy AC. Milan.
Ah, ini yang saya suka dari jenis pekerjaan seperti ini, secara materi mungkin tak ada apa-apanya, tapi saya selalu merasa kaya dari sisi yang lain. Bisa sampai di tempat-tempat ajaib di penjuru nusantara dan bertemu orang-orang yang tak terduga adalah sesuatu yang sangat berharga.

*******

## Gamalama

Kalau bukan liputan ke Ternate, mungkin saya tak akan se-bersemangat ini, perjalanan panjang dari Papua ke Makassar masih terasa letihnya, saya belum sempat istirahat, karena langsung masuk kantor untuk live kasus tembok rubuh itu.  Saat itu tanggal 4 Desember 2011, tembok sebuah perumahan elit yang dibangun tanpa prosedur yang semestinya rubuh saat hujan deras mengguyur, dan menimpa pemukiman warga miskin di bantaran kanal. Ada delapan warga yang tewas tertimpa pagar, sementara sebagian lainnya luka-luka.
Saya bahkan belum sempat pulang ke rumah sejak tiba dari papua, karena langsung live dua hari berturut-turut di kasus tembok rubuh itu, lalu ada perintah mendadak segera berangkat ke Ternate Maluku Utara, gunung Gamalama kembali meletus pada 5 Desember 2011, ada lebih dari dua ribu warga yang mengungsi akibat erupsi dan banjir lahar dingin.
Saya bersemangat, liputan ke Ternate bukan sekedar perjalanan biasa, tapi sekaligus bonus pulang kampung gratis untuk saya. Semburan debu vulkanik Gamalama membuat bandara di Ternate ditutup untuk sementara. Kami harus terbang ke Ambon, lalu menumpang kapal laut KM. Lambelu satu hari pelayaran menuju Ternate.
Menuju ke Ternate dengan kapal laut membuat saya terkenang masa-masa kuliah dulu, saat mudik berdesak-desakan di kelas ekonomi dengan barang yang menumpuk. Rasanya tak ada yang berubah, terakhir 10 tahun yang lalu saya menumpang kapal pelni mudik ke Tidore, dan sekarang masih sama saja seperti dulu, angkutan rakyat ini menurutku tetap tak ramah bagi para penumpangnya.

Hmm...13 hari di Ternate, saya hanya bisa menengok rumah di Tidore dua kali, dengan total waktu sekitar 2 jam. Meski begitu, bertemu ayah dan keluarga tercinta telah cukup menghapus rindu hampir tiga tahun tak pernah pulang.
Selama di Ternate saya juga berjumpa dengan banyak sahabat lama, sahabat semasa sekolah di pesantren atau semasa tinggal di asrama saat kuliah. Nanti saya akan datang lagi kesini, tentu saja bersama Bunda dan Zee....mereka harus melihat sepotong surga di belahan utara jazirah Maluku Kie Raha ini...:)


Makassar, 31 Desember 2011

......

Ya Allah...
Berikanlah kami lebih banyak kesabaran...
lebih banyak rasa syukur...
lebih banyak rasa ikhlas...
juga lebih banyak semangat untuk berusaha dan tak berputus asa...

Makassar, 26 Desember 2011 - 18.00

Sekali...

Sekali dalam hidup...seseorang harus bisa menentukan sikap
Jika tidak...maka ia tak akan menjadi apa-apa...[Pramoedya Ananta Toer)

Makassar, 21 Desember 2011

"My lovely Zee...Ayah rindu..."