pamit......

Hanya tersisa beberapa hari lagi, sejak surat pengunduran diri itu dikirim, saya selalu berusaha sedapat-dapatnya, menikmati detik demi detik hitungan mundur hari-hari terakhirku dikantor ini, Metro TV Biro Makassar. Rasanya banyak hal yang akan selalu tersimpan abadi disini. Teman-teman yang baik, tim yang kompak, penugasan-penugasan liputan yang memacu adrenalin, tidur di sofa ruang tengah karena kelelahan, dengan bonus segerombolan nyamuk kantor yang kadar hisapan darahnya menyaingi drakula. Atau hal-hal konyol lainnya seperti perang petasan beberapa malam yang lalu….
Saya selalu mengingat semuanya dalam tiga tahun ini, mulai dari dikejar-kejar warga di Poso saat liputan bom Tentena, terjebak pada perang kelompok di Sungai Saddang, diuber-uber mahasiswa fakultas teknik saat tawuran di Unhas, dua bulan dalam hiruk pikuk pilkada ditanah Papua serta petaka di depan kampus Universitas Cenderawasih.
Atau tentang perempuan-perempuan bercadar dan laki-laki bersorban di jalan-jalan kota Qum Iran, semalaman dibalut gerimis menanti detik-detik eksekusi mati Fabianus Tibo dkk, menembus desa-desa terisolir pada banjir bandang di kabupaten Sinjai dan Morewali, perburuan jejak jatuhnya pesawat Adam Air di belantara rangoan dan laut sulawesi, hingga indahnya kabut di Petirolemba pada suatu siang yang dingin.Ya, akan selalu saya kenang, melekat abadi dalam ingatan, sebab bagaimanapun juga, semua perjalanan yang telah banyak mengasah nurani itu dimulai dari “rumah” ini.
Ketika itu akhir Oktober 2004, saya selalu mengingatnya, bagaimana suasana suka cita diteras asrama Nuku malam itu, saat teman-teman se-asrama memintaku merayakan datangnya surat panggilan kerja dari Metro TV Jakarta, dengan “pesta” kecil-kecilan, meski hanya dengan beberapa minuman dingin dan cemilan dari uang terkahirku hari itu, tapi saya benar-benar bahagia, terharu, juga bangga, setidaknya ini adalah awal yang baik bagi saya untuk menjadi pribadi yang benar-benar mandiri. Sebab rasanya akan sangat bahagia, bila tidak lagi merepotkan ibu dan ayah dengan kewajiban membiayai hidupku di Makassar setiap bulannya.
Dan di penghujung Oktober 2007 ini pula, tiga tahun setelah “pesta” kecil-kecilan kami di teras Asrama Nuku itu, saya juga telah memutuskan untuk pergi dari “rumah” yang telah membesarkan saya. Semua ini bukanlah sesuatu yang saya putuskan dalam waktu singkat, saya mencoba untuk tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan ini, dengan banyak pertimbangan, masukan dari teman-teman sekerja, sahabat-sahabat, dan juga tentunya restu dari keluarga di rumah, sampai melalui goresan seorang Paulo Coelho, dalam Al Chemist :
“….Saat mengambil sebuah keputusan, berarti kita telah menceburkan diri ke dalam arus deras yang akan membawa kita ketempat-tempat yang tak pernah dibayangkan sebelumnya…..” .
Barangkali, keputusan ini akan membawa saya pada arus deras dari sebuah petualangan baru, semoga saja saya bisa melaluinya dengan baik, bekerja dengan baik, dan bisa menghasilkan sesuatu yang tidak hanya bernilai materi semata, namun sesuatu yang lebih memperkaya batin, sesuatu yang bisa bernilai ibadah nantinya.
Hanya tinggal berhitung hari, sebab itu saya ingin menyampaikan terima kasih dari hati yang paling dalam, untuk semua orang yang telah membuka pintu bagi proses belajar saya di tempat ini, kata-kata barangkali terlalu sunyi untuk menggambarkan seberapa besar rasa terima kasih ini.
Saya pamit………mohon doa restunya, semoga petualangan baru ini akan memberi banyak pelajaran berharga bagi setiap pencarian saya, untuk menjadi manusia yang jauh lebih baik…..

Makassar, 26 Oktober 2007 – 02 : 05 dini hari

angelina huet

Saya menarik tangannya dan mengajaknya duduk diatas kursi plastik itu. Sudah sangat larut, tidak tega rasanya melihat laki-laki paruh baya itu bersimpuh dihadapan kami, memohon bantuan untuk mecari ponakannya yang menghilang sejak lima hari terakhir.
Petrus Mbembok, laki-laki tua asal Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur itu, suaranya pelan, tersekat ditenggorokan, seperti berupaya menahan kesedihan, lalu dengan mata yang berkaca-kaca dia menuturkan kecemasannya tentang Angelina Huet, ponakan semata wayangnya, yang menghilang entah kemana.
Sudah lima hari ini Petrus terus mencari, berjalan kaki menyusuri jalan-jalan kota makassar, bertanya disetiap kerumunan orang, apakah mereka pernah melihat seorang bocah perempuan usia 12 tahun, berkulit hitam manis, dengan rambut yang terurai panjang, memakai baju merah dan celana coklat setinggi lutut. Sampai kemudian dia merasa lelah dan singgah pada kami yang kebetulan nongkrong didepan pitu pagar kantor malam itu….
Kami memahami kecemasan Petrus, bagaimana jika hal yang sama menimpa kami. Apalagi ponakannya itu baru 4 bulan di Makassar, Angelina tentu belum terlalu paham dengan seluk beluk kota ini, apalagi dia masih terlalu kecil.
Petrus membawanya dari kampung di Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur, untuk disekolahkan di Makassar, karena sejak Ayahnya meninggal, Angelina nyaris tidak terurus lagi masa depannya, meskipun kondisi Petrus dan keluarganya juga pas-pasan hidup di Makassar. Bekerja sebagai karyawan rendahan disebuah hotel, dan tinggal disebuah rumah petak kecil yang ia kontrak di sebuah lorong sempit di jalan Batu Putih.
Saya, mas Andi Palaguna, dan Ari Cina, kami meminta Idul mengantar Petrus pulang kerumah, kasihan, laki-laki tua ini telah berjalan kaki terlalu jauh hingga selarut ini. Kami memintanya untuk tenang, dan berjanji untuk menemaninya ke kantor polisi besok, melaporkan kejadian ini, semoga aparat negara itu terketuk untuk membantu pencarian Anggelina Huet. Setidaknya bukan hanya gadis kecil Rasya, yang berita kehilanganya telah menjadi perhatian banyak pihak, bahkan presiden juga ikut campur mendesak polisi untuk menemukan Rasya. Sementara banyak kasus serupa yang hingga kini belum terselesaikan.
Saya sebenarnya sedikit cemas dengan keberadaan Anggelina, mengingat dalam dua bulan terakhir ini polisi di Makasar baru membongkar sindikat penjualan anak-anak yang diperdagangkan dengan nilai puluhan juta rupiah. Semoga gadis kecil itu baik-baik saja, dan bisa ditemukan kembali…..

Makassar, 25 Oktober 2007 – 11 : 35 wita

selamat idul fitri 1428 hijriah

Alangkah malangnya kita sebagai bangsa. Ribuan warga di Kediri Jawa Timur itu, berdesak-desakan berebut pembagian zakat senilai 20 ribu rupiah per orang, yang dibagikan oleh sebuah perusahan rokok di kota itu. Banyak diantara mereka yang jatuh pingsan, karena terjepit dan terinjak-injak, sebagian besar diantaranya adalah anak-anak yang ikut mengantri bersama orang tua mereka.
Beberapa waktu sebelumnya, ribuan warga yang antri pembagian sembako murah disejumlah kota, juga diwarnai aksi saling dorong dan desak desakan. Tidak sedikit diantara mereka yang pingsan, atau terjatuh diselokan ber-air.
Idul fitri 1428 hijriah tahun ini, hanya tinggal berhitung jam, tapi disejumlah terminal angkutan, pelabuhan-pelabuhan penyeberangan dan stasiun kereta api, ribuan penumpang masih menganntri berjam-jam untuk mendapatkan angkutan pulang ke kampung halamannya. Kondisi mereka juga tak kalah memprihatinkan, terhimpit diantara ribuan penumpang, dan pingsan karena kelelahan menunggu lamanya antrian.
Yang paling tragis, banyak juga diantara mereka yang meregang nyawa diperjalanan akibat tabrakan maut dijalur mudik yang padat. Padahal semestinya perjalanan ini, adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan harapan, untuk membagi kebahagiaan dengan keluarga tercinta dikampung halaman.
Miris, tetapi inilah wajah kita, wajah sebuah bangsa yang nyaris kehilangan tempat berpijak, akibat kerasnya persaingan hidup. Pemimpin-pemimpin kita seperti tak pernah belajar dari setiap petaka yang menimpa kita.

*****
Ramadhan telah sampai di penghujung waktu, selesailah sudah sebuah kesempatan besar yang diberikan Allah bagi kita untuk berintrospeksi diri, merenungi semua dosa, secara pribadi, ataupun dosa-dosa kita secara social. Untuk kemudian memperteguh niat kembali menjalani kehidupan yang jauh lebih bermartabat. Semoga kita masih dipertemukan dengan ramadhan tahun depan, tentunya dengan kondisi yang jauh lebih baik daripada sekarang…..
Minal aidzin walfaidzin…mohon maaf lahir dan batin……

Makassar, 12 Oktober 2007 – 04 : 20 dini hari…

“ah..saya sepertinya mulai lupa, bahwa ini adalah tahun ke sembilan lebaran tidak dirumah, saya rindu.....dengan suasana diruang tengah itu saat usai sholat idul fitri, juga rindu dengan ketupat dan ayam kecap buatan almarhumah ibu....”

terima kasih

Kemarin anak-anak dikantor ramai perang petasan, tak lama setelah buka puasa dan sholat magrib.Seisi kantor riuh dengan ledakan-ledakan kecil dan suara tawa anak-anak, kami semuanya tak terkecuali,mulai dari pak Edy security kantor, para kontributor,Ary Cina, Praka Idul, Chali, Uceng,Upi, Saya, dan juga mas Kabul.
Perang-perangan ini bahkan merambat sampai dijalanan depan kantor, tidak jelas yang mana kawan yang mana lawan, yang ada hanya saling menyerang dan melempar petasan. Paling lucu saat Chali dan Upi kulihat jatuh dengan tragisnya, berguling didepan pagar karena bertabrakan saat lari menghindari ledakan petasan..hehehe….
Kadang kami memang seperti ini, disela-sela penatnya liputan dan tekanan deadline yang menghimpit, hal-hal konyol seperti ini selalu menjadi hiburan pelepas ketegangan. Dan dikantor ini juga, pada waktu-waktu tertentu kami menjadi seperti prajurit yang selalu siap dan patuh pada perintah, seberapa berat sekalipun sebuah misi yang harus dituntaskan. Tapi pada saat-saat tertentu pula, kami tak ubahnya sekumpulan anak-anak yang melepaskan kegembiraannya dengan permainan-permainan.
Barangkali,hal seperti inilah yang selalu membuat kantor ini tidak menjadi hanya sekedar kantor, tapi juga selalu menjadi seperti rumah, menjadi sebuah tempat dimana kami akan selalu rindu untuk kembali pulang.....barangkali, ini juga yang membuatku merasa seperti memiliki sebuah keluarga kecil, like my second home.....saya bahagia, tapi juga sedih, barangkali karena kebersamaan saya di keluarga kecil Metro TV Biro Makassar ini hanya tinggal menghitung hari...

*****

Surat pengunduran diriku secara resmi telah diterima para petinggi di Jakarta, mereka sempat menyatakan ketidak relaannya dengan pengunduran diriku, tapi juga tidak tahu harus menahanku dengan cara apa. Sudah keputusanku untuk hijrah ke stasiun TV yang lain. Bukan sesuatu yang tergesa-gesa, untuk sampai pada keputusan ini, saya telah mempertimbangkan secara masak-masak, melalui sebuah masa perenungan yang cukup panjang.
Saya pindah, bukan karena kecewa dengan Metro TV, sama sekali tidak, justru sebaliknya saya banyak belajar dan mendapatkan kesempatan untuk berkembang hingga menjadi seperti sekarang ini. Bagaimanapun juga Metro TV, dalam tiga tahun terakhir ini telah menitipkan banyak kebanggaan bagi saya. Hanya saja, lepas dari semua itu, ada kesempatan yang lebih baik bagi saya untuk mencoba sebuah tantangan baru.
Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya, dan memberi penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada semua sahabat dan teman sekerja di Metro yang telah menjadi cahaya dari setiap proses saya menjadi seorang jurnalis yang lebih baik, terutama teman-teman seperjuanganku di Biro Makassar, untuk semua keakrabannya yang menghangatkan.
Dari semuanya, ada dua nama yang abadi bagi saya, Mas Kabul dan Bang Sudirman”Brur” Mustari. Untuk setiap detik dari proses panjang yang saya jalani di Metro TV tiga tahun ini, saya ingin menyampaikan terima kasih, untuk setiap pintu yang telah dibuka, juga untuk setiap tangga yang mereka bangun untuk saya…..

Makassar, 10 Oktober 2007 – 04:00 dini hari…..