petani

Teman kontributor di Bulukumba mengirim berita tentang harga gabah petani yang anjlok pada musim panen kali ini. petani mengeluh, karena para tengkulak membeli gabah dengan harga yang jauh dari harga yang telah ditetapkan pemerintah. Ada Juga kiriman dari kontributor di Polewali Mandar, cerita tentang petani-petani yang beralih profesi menjadi pengumpul batu, karena musim kering yang berkepanjangan.
Saya pernah membaca tentang nasib petani yang tak pernah diuntungkan, dalam sebuah liputan utama harian Kompas. Petani punya kontribusi tinggi di sektor pertanian. Setiap tahunnya, ada 25 juta rumah tangga petani yang memproduksi pangan, seperti padi, jagung, kedelai, ubi kayu dan ubi jalar, yang nilainya mencapai 258,2 triliun rupiah.
Tapi dalam kenyataanya para petani tetap saja miskin, akibat banyaknya permasalahan, mulai dari harga gabah yang tak seberapa, harga pupuk yang selangit, cuaca yang tak bisa dipercaya, serta lahan-lahan persawahan yang tergadai karena terjepit biaya hidup sehari-hari.
Tempo hari, di sebuah swalayan yang tak jauh dari rumah, kami membeli 5 kg beras dengan harga yang lumayan mahal. Saya menghitung-hitung, ketika dibeli dari para petani, harga perkilo gram beras ini pastinya jauh lebih murah, tapi setelah sampai di swalayan ini, dengan sedikit kemasan eksklusif dan ditambah bumbu pencitraan khas kapitalisme, harganya pun melompat berkali-kali lipat. Lalu para pengusaha akan semakin kaya, dan para petani tetap saja berhutang pada tengkulak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Saat belanja di swalayan itu, kau bilang "sekalian saja kita beli semua kebutuhan dapur, mumpung kita ada disini". Dan saya pikir juga begitu, mumpung ada di swalayan ini, disini juga banyak sayuran segar dengan harga murah, tempat belanjanya juga lebih nyaman, bersih, apalagi dengan hembusan AC yang menyejukkan. Lagi pula, kita tak membeli dalam jumlah banyak kok, hanya untuk kebutuhan berdua saja.
Tapi sebetulnya, diam-diam saat membeli sayuran disitu, sempat terlintas dibenakku wajah penjual sayur keliling, yang tiap pagi tak pernah bosan berteriak-teriak serak di depan rumah kami. Ada semacam perasaan bersalah kepada penjual sayur keliling itu.

******

Pagi ini, saya memasak sendiri, tentu saja sebelum memasak saya menelponmu, menanyakan rumus-rumus masakan sederhana. Kebetulan di kulkas masih banyak persediaan. Minggu lalu kita menebus "rasa bersalah", dengan tidak ke swalayan, tapi beralih ke Pasar Terong, membeli banyak kebutuhan dapur untuk persediaan dalam waktu yang lama.
Saya membuat tumis kangkung, sedikit aneh rasanya, berbeda 180 derajat dengan buatanmu. Tapi saya tetap semangat mencicipinya, soalnya tak ada yang mau menikmatinya selain diriku sendiri hehe...btw, belum cukup seminggu kau pergi, tapi kok rasanya sudah lama sekali, lekas pulang sayang...jangan lama-lama disana,saya tak bisa menahan rindu. Eh, ini serius, bukan lebay...:)

Makassar, 5 Mei 2010 - 10.30