tanah ulayat

Delapan belas hari, setidaknya dengan waktu liputan selama itu membuat saya sedikit banyak memahami apa yang sedang berkecamuk didalam dada orang-orang yang tinggal di kota kecil itu. Ini adalah kali ketiga saya datang ke Timika, kota kecil di ujung timur yang penuh gelora.
Disana ada ribuan pekerja tambang PT. Freeport yang mogok kerja, mereka menuntut kenaikan upah yang layak sesuai dengan resiko perkerjaan. Para pekerja di PT. Freeport itu, hanyalah salah satu dari sekian banyak contoh kisah tragis para pekerja, yang diperas oleh perusahan kapitalis.
Dalam sebuah obrolan dengan para pekerja, saya mendengarkan banyak cerita, tentang duka bekerja di tambang bawah tanah. " Di tambang underground itu, kalau meludah, air ludah kami berwarna coklat dan berpasir, meski kami telah memakai masker yang standar. Ada teman kami yang langsung meninggal dunia setelah pensiun karena tubuh yang rapuh dimakan zat-zat beracun didalam tambang" begitu kata seorang diantara mereka.
Ada juga kisah lain tentang bonus yang dipotong bila mereka sakit dua hari saja, atau tentang menu ayam berenang tanpa rasa yang tak membawa selera. Makanya sebagian mereka kadang lebih suka makan mie rebus, daripada menyantap menu catering perusahan.
Selain pekerja tambang yang mogok, kawasan pertambangan tembaga dan emas itu juga rawan dengan penyerangan kelompok kriminal bersenjata. Selama saya disana, kurang dari dua pekan, sudah enam nyawa melayang, tewas ditembak para pelaku teror. Kekerasan di areal pertambangan PT. Freeport ini sudah berlangsung lama dan terus berulang, tanpa satupun pelaku teror yang berhasil ditangkap aparat.
Dalam kurun waktu Juli 2009 hingga Oktober 2011 ini, sudah lebih dari empat puluh kali insiden penembakan terjadi, sudah belasan nyawa melayang, salah satu korbannya adalah sahabat saya, seorang anggota brimob polda Papua. Ia tewas pada Juli 2009, mobil patrolinya terbalik saat mengejar kelompok kriminal bersenjata. Ia meninggalkan dua orang putra yang masih balita. Semoga Allah melindungi keluarga itu, segala doa saya panjatkan untuk mereka.
Bercerita tentang Freeport, sebetulnya sama saja dengan berbicara tentang nestapa masyarakat Papua, terutama warga tujuh suku pemegang hak ulayat di Timika tersebut. Jutaan dollar dikeruk setiap hari dari perut bumi Papua,lalu kemanakah para pribumi?. Para pemilik tanah itu, mereka bisa dijumpai di sungai-sungai keruh, dengan wajah penuh keringat bercampur lumpur, menggoyang wajan untuk mengais sisa-sisa konsentrat emas buangan pabrik.
Memang banyak juga diantara mereka yang dipekerjakan di perusahan tersebut, tapi sebagai apa?, toh kebanyakan dari mereka adalah pegawai rendahan, karena keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan. Lebih banyak lagi dari mereka hidup terbelakang dan miskin.

Makassar, 31 Oktober 2011 - 18.00

[ Siang itu hujan menghapus panasnya jalanan, kau dan bunda menjemputku. Saya memandangmu lekat-lekat, wajah yang lembut dengan bulu mata yang lentik. Belasan hari meninggalkanmu membuat saya dikepung rindu. Hmmm...putri ayah yang cantik, bangunlah nak, lihatlah Ayah sudah pulang hari ini. Tak usah terkejut, memang ayah jauh lebih hitam, wajah yang lebih kusut, dan rambut yang acak-acakan. Pasti kau tak nyaman bila ayah memeluk dan menciummu, apalagi dengan jenggot dan kumis yang belum dicukur...:D ]

stethoscope

Kami menuntunmu perlahan-lahan, meniti satu demi satu deretan nasi ketan tujuh warna, kemudian menaiki tangga warna warni yang terbuat dari batang tebu, lalu turun dan menginjak sekumpulan tanah yang telah disediakan dari wadah keramik tanah liat. Prosesi ini bermakna agar kelak setelah dewasa kau selalu ingat tanah tumpah darahmu, juga agar kelak kau bisa meraih kehidupan yang sukses dan dinamis tahap demi tahap.
Pada prosesi selanjutnya kau dimandikan dengan air kembang, mengganti baju dengan yang baru, kemudian digendong satu persatu oleh kami sekeluarga, mulai dari eyang putri, eyang buyut, paman, hingga ayah dan bunda. Prosesi ini bermakna supaya kau terlihat lebih segar dan cantik ketika kami menyambutmu saat kau memasuki tahap baru dalam kehidupanmu.
Lalu setelah itu, didalam kurungan bambu yang di isi dengan berbagai macam benda yang menjadi simbol masa depanmu itu, tanpa ragu kau mengambil sebuah stethoscope dokter, yang diletakkan diantara benda-benda lainnya seperti laptop, buku, pulpen, uang, perhiasan, dan juga sejumlah alat kosmetik. Serentak kami semua yang ada disitu tertawa bahagia melihatmu.."Zee mau jadi dokter kalau sudah besar nanti", begitu kata orang-orang.
Bukan hanya ayah dan bunda yang bahagia putriku, lihatlah eyang putrimu itu, dia seorang dokter, dan ayah melihat senyum bahagia di wajahnya menyaksikan engkau menggigit-gigit ujung stethoscope yang tak kau lepaskan dari gengamanmu.
Upacara sederhana dalam tradisi Jawa ini disebut dengan tedak siti, yaitu upacara memperkenalkan anak untuk pertama kalinya pada bumi, dengan tujuan kelak anak tersebut mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupan. Upacara ini digelar apabila seorang anak sudah berumur tujuh lapan (7 x 35 hari).
Azeeta Sasmaya putriku, upacara adat ini adalah simbol atau bentuk lain dari doa-doa kami untuk masa depanmu. Bagi ayah dan bunda, kelak kau boleh menjadi apa saja sesuai dengan kata hatimu, meskipun itu bukan seorang dokter. Asalkan pilihanmu itu tetap membuatmu terjaga dijalan kebaikan.
Kalaupun nanti bila kau benar menjadi seorang dokter seperti pada cerminan pilihanmu saat ini, pesan kami, jadilah dokter yang baik putriku, jadilah dokter yang lebih mengedepankan semangat menolong sesama daripada sekedar mencari keuntungan ekonomi atas profesimu. Pada profesi apapun itu, nilai menolong sesama itu jauh lebih mulia dibanding nilai ekonomis yang kau dapat dari profesi tersebut...

Makassar, 4 Oktober 2011 - 12.20 wita

[ My lovely Zee, ayah baru sempat menulis ini setelah pulang ke Makassar. Upacara tedak siti ini digelar di rumah eyang putri di Surabaya, tanggal 25 September 2011 yang lalu, bertepatan dengan hari ulang tahun ayah yang ke 32. Oya, sebentar lagi kau dan bunda akan datang, kita akan menetap disini, tak sabar ayah menanti kalian, kita akan menonton pagi bersama dari teras rumah mungil kita ini ].