ekspresi

Hari sudah terlalu siang, kau sudah terlambat, tapi eyang putri berhasil mendapatkan nomor untukmu, " Zee dapat nomor 17 ayah.." kata bunda memberi kabar. Hehe...ayo semangat nak, jangan ragu, tunjukkan ekspresi terbaikmu, seperti yang sering kau lakukan di rumah bila di foto sama bunda. Siang itu kau datang dengan baju andalan yang baru dibelikan bunda, baju berwarna pink dengan topi berbentuk kepala ayam, lengkap dengan cenggernya.
Kalau ada pintu kemana saja punya si Doraemon, rasanya ayah ingin menghilang dalam sekejap dari kantor ini, terbang melintasi lautan menuju Surabaya untuk memberikan dukungan langsung kepadamu yang mengkuti lomba foto ekspresi bayi. Soalnya ayah sedih melihat fotomu yang dikirim bunda, kau seperti tak nyaman, bete, dan juga sedih. " Zee nangis ayah, kayaknya kaget dan tidak nyaman dengan suasana hiruk pikuk, " kata bunda menceritakan peristiwa hari itu.
Kemarin sudah diumumkan para pemenang lomba foto itu, bunda juga mengirim hasil fotomu, tengkurap dan menoleh kesamping diantara boneka-boneka lucu yang diletakkan panitia. Tapi ekspresimu tak bersemangat, tak seperti saat kau dirumah dan duduk di kursi goyang kebesaranmu. Kata bunda "Zee tak juara ayah, yang menang itu bayi-bayi yang sukses nyengir dan senyum".
Hhmm...sejujurnya ayah sedih mendengar kabar kau tak juara dalam lomba foto ekspresi itu. Ayah sedari kemaren berharap kau akan menang, dan ayah akan mengabarkan kepada dunia bahwa putri ayah yang cantik ini menang lomba foto ekspresi bayi. Tapi kau tak menang, dan ayah sedih, meski ayah yakin kau tentu saja tak peduli menang atau kalah dalam lomba itu, karena bagimu yang penting bisa bermain dengan riang, dan ada bunda didekatmu saat kau merasa haus dan ingin menyusui.
Zee putriku, sekarang ini ayah baru paham, mengapa dulu waktu ayah masih duduk disekolah dasar dan beberapa kali menjadi juara lomba, betapa kakekmu sangat gembira, dengan semangat ia menggendong ayah di sekolah, dan tak lupa bercerita kemana-mana sampai membuat ayah sendiri malu mendengarnya hehe..
Begitulah para orang tua anakku, mereka selalu punya pengharapan yang luar biasa kepada anak-anaknya. Meski terkadang sebagian orang tua lupa, hingga pengharapan yang luar bisa itu membuat mereka terjebak untuk memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya.
Beruntunglah bagi ayah dan bundamu ini, karena kami tidak dibesarkan dari keluarga yang suka memaksakan keinginan-keinginan mereka kepada anak-anaknya. Dan tentu saja putriku, meski kami punya banyak mimpi dan pengharapan untumu, biarkan saja itu menjadi sebatas doa-doa kebaikan untukmu. Kami mencintaimu, karena itu kau boleh mengejar mimpi-mimpimu sendiri...:)

Makassar, 26 Juni 2011 - 10.26

Mantra Pak Dayak

"...patmaraga sukmaraga..warahuda warahudi..
sang yang salami asita..salami asindau..aku minta kekuatan...."


Begitu mantra-mantra itu dirapalkan dihadapan puluhan orang yang berdiri mengelilinginya, membentuk barisan lingkaran yang tertib. Sesekali ia meniup microphone yang ia pegang hingga menimbulkan suara desis yang khas.
Laki-laki itu memperkenalkan diri "Orang-orang memanggil saya Pak Dayak.." katanya meyakinkan. Ia kemudian bercerita panjang lebar tentang asal-usulnya, datang dari Kutai Barat Kalimantan Timur, saudara kandung dari Panglima Api, salah satu pemuka adat di tanah Dayak, dan sudah melanglang buana ke berbagai penjuru Indonesia, membagi "pengetahuan" dari tanah kelahirnannya.
Seperti biasa, ia juga menyampaikan salam persahabatan kepada semua orang, menegaskan bahwa ia datang hanya untuk menghibur dan membantu sesama, bukan untuk pamer ilmu atau kekuatan. Pak Dayak berbicara dengan retorika yang meyakinkan, percaya tidak percaya dengan apa yang dia katakan, gaya retorika yang khas itu sanggup membuat para penonton rela berlama-lama dalam barisan lingkaran itu.
Selain kemapuan retorika, pak Dayak juga memperagakan sejumlah kebolehannya, seperti kebal senjata setelah memakai kalung keramat, melepaskan diri setelah dikurung dalam karung goni yang telah dijahit, dan atraksi sanggup menjadi penawar racun. Tentu saja, usai semua pertunjukan ini, akan ada penawaran sejumlah obat-obat murah dengan jaminan khasiat yang sangat mumpuni, lalu para penonton akan mengancungkan lembaran-lembaran recehan seribu rupiah untuk mendapatkan obat atau jimat tersebut.
Saya tiba-tiba memustuskan mampir ke tempat itu usai pulang kantor, didepan deretan ruko-ruko di jalan Andi Pangeran Pettarani Makassar, dan ikut serta mengambil posisi diantara para penonton yang membentuk lingkaran. Saya mampir bukan untuk membeli obat, apalagi karena panggilan mantra patmaraga sukmaraga , saya mampir karena kenangan masa kecil yang sekonyong-konyong datang memanggil, untuk menyaksikan lagi atraksi murah meriah dan menghibur itu.
Rasanya sudah bertahun-tahun saya tak pernah menonton atraksi penjual obat. Jaman sekolah dulu di Tidore, para penjual obat ini biasanya ramai pada hari-hari pasar, seperti Selasa dan Jumat. Di pasar Sarimalaha Tidore, saya nyaris tak pernah melewatkan atraksi mereka usai pulang sekolah, biasanya saya akan bertahan diantara rasa penasaran menunggu atraksi ular peliharaan sang penjual obat yang disimpan dalam peti, dan perasaan cemas ingin segera pulang, karena takut dimarahi ayah dan ibu bila terlambat ke masjid untuk sholat Jumat hahaha...
Entahlah sekarang, saya lama tak pulang kampung ke Tidore. Apakah para penjual obat masih bisa ditemui di pasar-pasar? apakah mereka masih tetap menghibur dengan gaya retorika yang khas? entahlah...apalagi setahu saya pasar kenangan itu telah rata dengan tanah akibat kebakaran hebat setahun silam.

Makassar, 13 Juni 2011 - 16.30