obrolan di dapur

Waktu liputan di Papua dulu, Hendrawan Setiawan, teman dari biro Jogja itu pernah bilang, kalo aku cukup beruntung ada di Makassar, kota yang nyaris selalu diisi keributan dan bikin produksi berita jadi gak ada matinya. Mahasiswa yang tawuran, bentrok antar warga, hingga eksekusi tanah yang berbuah perang.
Nggak kayak di Jogja Bud, kalopun ada demo, palingan demonya anak-anak Papua atau demo KAMMI soal Palestina” katanya, dalam sebuah perbicangan rutin kami setiap pagi di pojok dapur rumah kontrakan, dapur yang sempit itu memang selalu ramai setiap pagi, saat anak-anak memperbincangkan banyak hal sambil ngopi dan masak sarapan pagi.
Melihat gempa di Jogja dan Jawa Tengah yang menewaskan ribuan orang dan meluluh lantakkan ribuan rumah itu tiba-tiba saja mengingatkanku pada obrolan-obrolan kami waktu liputan pilkada Papua ketika itu. Jadi ingat cerita Hendrawan tentang kota Jogja yang tenang, tapi gempa yang berlangsung tak cukup dari 1 menit itu kini membuat kota itu jadi amat sangat “ramai”. Dan sampai saat ini berita-berita soal gempa di Jojakarta itu masih terus meramaikan segmen demi segmen dari tayangan berita-berita televisi maupun surat kabar.
Sebenarnya aku tidak bermaksud bercerita tentang daerah mana di Indonesia yang lebih ramai dalam soal produktivitas berita, tidak, sama sekali bukan soal itu. Aku hanya tiba-tiba berpikir tentang betapa berkehendaknya Allah atas segala sesuatu, tentang betapa tidak berdayanya manusia ketika sebuah bencana datang, adakah diantara kita yang bisa mengelak ketika sesuatu telah ditetapkan oleh Yang Maha Berkehendak. “kun fayakun, jadi, maka jadilah !!”.
Belakangan ini, aku merasa makin jauh dari Allah. Masih terus melakukan kesalahan yang sama, masih terlalu angkuh. Padahal apa yang bisa disombongkan?. Tubuh ini cuma setitik debu dari semesta yang maha luas. Kenapa hanya untuk lebih menundukkan kepala jadi begitu susah ?.

Makassar, 07 Juni 2006 – 09 : 40

No comments: