kampung yang hilang

Berjalan kaki menuju desa Bonto Katute kecamatan Sinjai Tengah bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, apalagi bagi orang seperti saya yang nyaris tak pernah melatih fisik untuk menempuh perjalanan jauh , mendaki dan melalui jurang-jurang terjal akibat longsor.
Luki Savitry, repoter Jakarta itu kulihat beberapakali menghapus butir-butir keringat yang bercampur air hujan di wajah moleknya. Beberapa kali dia berujar kalau kakinya serasa mau copot, aku senyum-senyum saja....pura-pura terlihat masih kuat dan tangguh, padahal sejujurnya dari tadi aku ingin bertukar dengkul dengan tentara-tentara Yonif 726 itu.
Setelah melewati beberapa titik longsoran kami akhirnya harus berhenti sejenak, sebuah longsoran baru akibat hujan semalam dengan panjang ratusan meter, telah menutup satu-satu jalan yang biasa dilewati. Ada jutaan kubik material longsor yang labil dan membentuk jurang yang terjal.
Kulihat prajurit-prajurit dari Yonif 726 Tamalatea itu berpikir keras, bagaimana dapat menembus longsoran itu dengan membawa barang-barang bantuan bagi pengungsi yang terisolir. Sapertinya tak ada jalan lain selain menuruni lembah dan kemudian menyeberang untuk sampai di desa sebelah.
Jalanan becek penuh lumpur dan hujan yang terus mengguyur membuat setiap orang harus lebih berhati-hati, Beberapa lembah di kawasan itu sebagiannya telah menjadi rata karena timbunan lumpur, sangat berbahaya jika menentukan pijakan yang tidak tepat saat melangkah, kita bisa tenggelam dalam timbunan lumpur yang dalam.
Prajurit-prajurit TNI itu harus menggotong tangki air besar dan sejumlah peralatan sanitasi lainnya bagi para pengungsi di desa-desa terisolir. Dan aku tentunya harus bisa mengabadikan beratnya perjalanan pendistribusian bantuan tersebut lewat lensa kameraku.
Banjir bandang dan tanah longsor dikabupaten Sinjai membuat banyak desa di berbagai kecamatan di daerah tersebut terisolir akibat terputusnya jalur transportasi darat. Distribusi logistik bantuan bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya bagi para korban bencana, kebanyakan harus dilakukan dengan berjalan kaki hingga puluhan kilo meter.
Sekitar 200 lebih nyawa melayang dalam musibah ini, sementara ribuan warga lainnya kehilangan tempat tinggal dan mata pencahariannya. Diatas tanah longsoran itu aku berpijak pada sebuah papan, sepertinya bekas bangunan rumah yang telah rata dengan tanah, jadi teringat dengan cerita beberapa teman dari tim SAR tentang sejumlah perkampungan warga yang hilang akibat tertimbun tanah atau tersapu banjir bandang.

Makassar, 8 juli 2006 – 09:34

No comments: