robohnya masjid kami

“…….sekarang kita tak punya apa-apa lagi, yang tersisa hanyalah puing-puing dari kebodohan kita sendiri, sejarah kita telah mati….”

Pesan singkat lewat SMS itu, hanya bisa saya kirim ke beberapa teman di Tidore setelah saya tiba di Makassar. Sempitnya waktu dan kesibukan diantara kami membuat kami tak sempat duduk disatu meja, sekedar bercerita tentang perkembangan tanah kelahiran beberapa tahun terakhir ini, atau setidaknya bisa ngobrol sambil minum aer goraka di pelataran pasar Sarimalaha, seperti yang pernah kami lakukan beberapa waktu yang lalu. Padahal ketika itu, saya ingin sekali bisa bertemu, setidaknya untuk menyampaikan keprihatinanku tentang nasib mesjid kami yang dibongkar paksa itu.
Sampai saat ini, saya tak pernah tahu apa yang menjadi petimbangan mereka yang telah merobohkan mesjid tua itu, dan menggantinya dengan bangunan mesjid yang baru. Padahal itu adalah satu-satunya yang tersisa dari jejak sejarah masa lalu kesultanan Tidore. Sedih rasanya melihat bangunan bersejarah yang berusia ratusan tahun itu rata dengan tanah. Saya jadi teringat, beberapa tahun lalu, salah satu mesjid tertua di Indonesia yang ada di Toloa-Tidore, juga dirobohkan warga, dan diganti dengan bangunan yang baru.
Katanya mesjid sultan Tidore itu, salah satu tiang utamanya telah rapuh, makanya harus dibongkar dan dibangun yang baru, lalu entah siapa yang kemudian menjadi penentu keputusan membongkar mesjid bersejarah itu. Tapi yang pasti, kontraktor yang memenangkan tender rehabilitasi mesjid itu adalah anak sultan Tidore sendiri.
Benar-benar bodoh, padahal masih banyak cara yang bisa dilakukan selain dengan meratakan bangunan itu dengan tanah. Saya juga amat kesal dengan pemerintah di Tidore, kemana saja mereka saat setiap jengkal bangunan bersejarah itu dirobohkan, pemerintah di Tidore, juga sultan Tidore, sama saja bodohnya.
Tak jauh dari mesjid sultan itu, berdiri situs peninggalan dari sisa-sisa bangunan kedaton sultan Tidore, itu juga sudah rusak, situs-situsnya hancur oleh alat-alat berat yang menggali pondasi untuk replika kedaton sultan Tidore yang dibangun diatas tanah tersebut. Kenapa replika kedaton Sultan harus dibangun diatas situs bersejarah itu???. Tanah diluar wilayah situs itukan masih banyak yang kosong. Sisa-sisa bangunan kedaton sultan yang telah rata dengan tanah itu masih jauh lebih bernilai, dibanding replika yang bernilai milyaran rupiah tersebut.

*****
Dulu sekali, saat sultan Saidul Jehaad Muhammad El Mabus Amiruddinsya Kaicil Paparangan membangun jazerah Moloku Kie Raha dengan darah dan juga hunusan pedang kepada imperialisme asing, selalu saja ada penghianatan dari orang-orang kedaton yang silau dengan harta benda, yang rela menggadaikan harga diri, mengadaikan kedaton dan rakyat, demi sekeping emas gubernur jenderal Belanda di Ternate.
Saya mulai yakin, bahwa pada titik tertentu, sejarah selalu mengalami pengulangan-pengulangan, meski dengan cara yang berbeda, tapi dengan substansi yang tetap sama. Harga diri dan warisan masa lalu yang menjadi hak rakyat Tidore itu, hari ini juga digadai oleh “orang-orang dalam kedaton” sendiri. Lihat saja, kalau bukan karena tergiur dengan tender milyaran rupiah, tidak mungkin mereka tega merusak warisan masa lalu yang tidak ternilai itu…ah, barangkali ini pertanda bahwa sejarah kita memang telah usai, kita tak punya apa-apa lagi, selain puing-puing kebodohan kita sendiri……

Makassar, 10 September 2007 – 02 : 39 dini hari

No comments: