para pejalan

Sore itu, seorang laki-laki tua penjual kue keliling menurunkan pikulan dagangannya, diteras sebuah mesjid kecil dekat jalan pahlawan. Laki-laki tua itu sama seperti saya, kami adalah para pejalan kelelahan yang singgah beristirahat, juga sekaligus memenuhi panggilan sang pemilik kehidupan.
Tapi perbedaan paling mecolok dari saya dan laki-laki tua itu adalah, saya yang akhirnya terdampar di salah satu sudut kota buaya dan hiu ini, sebagai bagian dari niat menyusuri bumi Allah lainnya, yang dulu hanya bisa saya liat pada peta. Juga sebuah perjalanan untuk mencari sesuatu yang saya sebut sebagai pertanda bagi takdir saya sendiri. Perjalanan yang akhirnya bisa saya lakukan setelah saya merasa sedikit lapang untuk menjalani petualangan sederhana seperti ini. Sementa ia singgah karena kelelahan menyambung nasib sebagai penjual kue keliling.
Usai sholat ashar, laki-laki tua itu merebahkan diri di teras mesjid. Saya menawarkan sebatang rokok, dan ia menolaknya dengan santun. Sudah pasti ia kelelahan menyusuri sudut-sudut kota, mengikuti jalan takdirnya sebagai penjual kue keliling. Saya melihat kue-kue dagangannya belum juga habis, masih tersisa, dan saya membayangkan ada sejumlah orang yang menantinya pulang sore ini dengan uang jualan kue yang tak seberapa itu.
Saya menunduk hormat padanya, saya belajar tentang bagaimana seharusnya menjadi orang yang tak pernah putus bersyukur atas apa yang telah dimiliki, sesederhana apapun itu. Langit-langit kota ini mulai diselumuti cahaya senja yang jingga, saya akhirnya meninggalkan laki-laki tua itu tertidur lelah di teras mesjid.
Seperti kemarin, saya selalu bahagia melihat senja disini,karena saya tahu sebentar lagi kau akan pulang. Saya memilih jalan kaki saja. Saya akan menunggumu di tempat biasa, dimana kita selalu menundukkan kepala dalam-dalam, berdoa untuk potongan-potongan mimpi yang kita kumpul setiap hari.

Surabaya, 10 Juni 2009 - 18.00

No comments: