benang raja

Siang yang mendung, dipelataran gereja Maranatha Ambon, Kanjoly Jacky, bersama beberapa orang lainnya bercerita tentang riwayat RMS di tanah Maluku. Sahabat lama Alex Manuputty ini berujar, RMS dan juga Alex Manuputty, yang disebut-sebut para simpatisan RMS sebagai Paduka Raja tersebut sama sekali tidak punya pijakan yang kuat di bumi manise tersebut. Berbeda dengan gerakan separatis di Aceh dan Papua yang jauh lebih kuat struktur dan lobi politik internasionalnya. RMS sama sekali bukan apa-apa, hanya kendaraan rapuh para petualang-petualang politik asal Maluku di luar negeri untuk mencari simpati internasional agar mendapat suaka politik, dan terselamatkan dari status sebagai imigran gelap.
“para aktivis RMS yang melarikan diri di Belanda dan Amerika itu, mereka terpecah-pecah dan terbagi dalam ratusan faksi yang saling berseberang, tidak solid, dan tidak punya basis pendukung yang jelas. Bahkan terkadang mereka hanya datang dan berfoto didepan gedung PBB, lalu mengirim foto tersebut ke Indonesia sebagai bukti bahwa mereka telah berjuang” Ujar Jacky dengan dialek Ambonnya yang khas.
Perbincangan siang itu, sedikit memberi prespektif yang berbeda bagi saya dalam melihat gerakan separatis RMS di Maluku, semuanya tidak hanya berakar pada sejarah masa lalu, pada periode pasca perang kemerdekaan. Tapi juga terus berakumulasi, dan bahkan bermetamorfosis seiring dengan dinamika politik yang bergerak keras, apalagi ketika kerusuhan social bernuansa SARA pecah beberapa tahun silam, telah memantik api gerakan separatis tersebut menyala kembali. Termasuk didalamnya fakta tersembunyi tentang sebuah “proyek terselubung” yang sengaja dirancang sekelompok orang untuk meraup untung dari derasnya aliran dana pemulihan keamanan dan proyek rekonsiliasi social.
Kota ini telah banyak berubah, sejak terakhir kali saya singgah pada 1997 silam. Sepanjang perjalanan dari bandara Pattimura menuju kota Ambon, melihat sisa-sisa bangunan yang terbakar membuat saya sedikit mencoba membayangkan situasi antara tahun 1999-2000 itu. Kenangan hitam itu jelas masih sangat membekas pada setiap penduduk kota, tapi seiring waktu, satu demi satu setiap sisi kehidupan mulai mereka susun kembali, mencoba mencari ritme dan denyut nadi kehidupan yang pernah hilang.
Dari beberapa perbincangan dengan sejumlah orang, baik itu komunitas islam maupun Kristen, masyarakat di Ambon sedikit banyak telah belajar dari pengalaman kelam masa lalu. Terutama bagaimana membangun komunikasi antara mereka untuk meredam prasangka dan juga upaya-upaya adu domba…

****

Sebelum peristiwa memalukan itu, pada sebuah pagi gerimis dipenghujung Juni. Di pelosok pulau Haruku, Maluku. Anak-anak muda desa Aboru itu mulai berkemas, dengan parang dan salawako, sebab beberapa hari sebelumnya telah tersiar kabar bahwa sang Paduka Raja Alex Manuputty dengan sebuah kapal putih, bersama John Howard dan Gerge W Bush telah menepi di semenanjung Maluku. Hari kemerdekaan telah di depan mata, maka tarian cakalele pun dipentaskan oleh anak-anak muda Aboru, dan benang raja dibentangkan sebagai penyambutan..!!,

Makassar, 10 Juli 2007 – 19 : 30 wita

No comments: