Setangkai asa tumbuh di dekat jendela kamarku pagi ini,
Hei, tunggu…jangan beranjak dulu…
kan kuselipkan ia dirambutmu…
biar menemani letihmu hari ini…..
makassar, 14 februari 2007
foto dari masa lalu
Dua buah KTP dengan alamat Makassar dan Jayapura, sejumlah kartu ATM dari beberapa bank yang telah kadaluarsa, kwitansi-kwitansi, beberapa lembar koleksi duit kertas baru yang masih licin, semuanya boleh saja raib jika memang sudah saat untuk kembali pada asalnya.
Aku telah mengikhlaskan kepergian dompet itu, meski dengan sedikit perasaan sedih. Tapi tak apalah, sebab bukankah ini adalah sesuatu yang lumrah dalah sebuah proses hidup. Gak ada yang abadi, semuanya kerap datang dan pergi begitu saja. Dalam hidup kita udah sering banget merasa kehilangan atas sesuatu, tapi besoknya sesuatu yang baru biasanya selalu saja bermunculan, kemudian hilang ketika tiba saatnya, lalu datang lagi sesuatu yang baru dan begitu seterusnya.
Sudahlah…dompet coklat itu entah dimana, bersama sejumlah foto-foto masa kecilku yang terselip di dalamnya. Kusimpan foto-foto culun itu didompet, biar selalu bias dibawa kemana-mana. Setidaknya dalam penatnya langkah yang dijejaki, ada sesuatu yang menyejukkan saat memandang foto-foto itu. Ikhlaskan saja semua isinya, anggap saja sebagai sesuatu yang telah disedekahkan.
Sebenarnya aku kurang begitu suka memakai dompet, menyimpannya di saku celana belakang kerap membuat kartu-kartu ATM dsb yang bermukim didalamnya jadi patah. Seingatku, aku Cuma sekali membeli dompet. Saat awal-awal kuliah dulu, itupun nyaris tak terpakai. dan kalaupun hari ini aku punya sebuah dompet, itu hanya kebetulan sebagai hadiah ulang tahun dari pacarku yang dulu “ biar diinget-inget, harus selalu ada isinya. Udah saatnya untuk mikir masa depan” begitu katanya.
Seorang ibu yang tengah hamil tua, sambil menggendong seorang bayi, datang ke rumah Kika pagi itu. Mengembalikan sebuah dompet coklat yang di temukan anaknya beberapa malam yang lalu. “ saya gak tau ini dompet siapa, tapi saya liat ada fotonya Ika disini” Ujar ibu muda itu.
Aku tentunya amat bersyukur dengan kembalinya dompet itu, kuperiksa isinya, tentunya setelah ibu itu berlalu. Semuanya masih utuh, kecuali koleksi beberapa uang kertas baru yang entah dimana. Aku berprasangka baik terhadap ibu muda itu, barangkali dia penemu yang kesekian setelah jatuhnya dompet. Tapi demi Allah, aku telah mengikhlaskan semuanya, termasuk siapapun sang penemu pertama.
Makassar, 02 Mei 2006 – 23 : 45 Wita
Aku telah mengikhlaskan kepergian dompet itu, meski dengan sedikit perasaan sedih. Tapi tak apalah, sebab bukankah ini adalah sesuatu yang lumrah dalah sebuah proses hidup. Gak ada yang abadi, semuanya kerap datang dan pergi begitu saja. Dalam hidup kita udah sering banget merasa kehilangan atas sesuatu, tapi besoknya sesuatu yang baru biasanya selalu saja bermunculan, kemudian hilang ketika tiba saatnya, lalu datang lagi sesuatu yang baru dan begitu seterusnya.
Sudahlah…dompet coklat itu entah dimana, bersama sejumlah foto-foto masa kecilku yang terselip di dalamnya. Kusimpan foto-foto culun itu didompet, biar selalu bias dibawa kemana-mana. Setidaknya dalam penatnya langkah yang dijejaki, ada sesuatu yang menyejukkan saat memandang foto-foto itu. Ikhlaskan saja semua isinya, anggap saja sebagai sesuatu yang telah disedekahkan.
Sebenarnya aku kurang begitu suka memakai dompet, menyimpannya di saku celana belakang kerap membuat kartu-kartu ATM dsb yang bermukim didalamnya jadi patah. Seingatku, aku Cuma sekali membeli dompet. Saat awal-awal kuliah dulu, itupun nyaris tak terpakai. dan kalaupun hari ini aku punya sebuah dompet, itu hanya kebetulan sebagai hadiah ulang tahun dari pacarku yang dulu “ biar diinget-inget, harus selalu ada isinya. Udah saatnya untuk mikir masa depan” begitu katanya.
Seorang ibu yang tengah hamil tua, sambil menggendong seorang bayi, datang ke rumah Kika pagi itu. Mengembalikan sebuah dompet coklat yang di temukan anaknya beberapa malam yang lalu. “ saya gak tau ini dompet siapa, tapi saya liat ada fotonya Ika disini” Ujar ibu muda itu.
Aku tentunya amat bersyukur dengan kembalinya dompet itu, kuperiksa isinya, tentunya setelah ibu itu berlalu. Semuanya masih utuh, kecuali koleksi beberapa uang kertas baru yang entah dimana. Aku berprasangka baik terhadap ibu muda itu, barangkali dia penemu yang kesekian setelah jatuhnya dompet. Tapi demi Allah, aku telah mengikhlaskan semuanya, termasuk siapapun sang penemu pertama.
Makassar, 02 Mei 2006 – 23 : 45 Wita
sepotong poster bintang kejora
Agak bingung juga, dari mana sebaiknya memulai cerita tentang kota ini. Dulunya saat pemerintah Hindia Belanda masih bercokol, orang-orang menyebut kota pantai ini sebagai Hollandia, lalu kemudian berganti nama menjadi Sukarnopura saat gelora revolusi 45 menyesak kesetiap sudut nusantara. Kota ini juga pernah disebut sebagai Port Numbay, yang kemudian menjadi Jayapura hingga saat ini.
Dua bulan liputan Pilkada Papua dan kasus bentrok yang menewaskan 5 petugas keamanan di Abepura Jayapura, menyisakan banyak hal yang mengendap dalam memori. Tanah Papua, sebuah wilayah subur yang penuh gelora. Menurutku ada “sesuatu” di Papua yang terus bergerak, seperti borok yang kelak meletus dan mengoyak pori-pori.
Di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Cenderawasih, kami menemui seorang pria asli Papua, seorang mantan tahanan politik yang pernah mendekam di penjara selama 16 tahun karena dianggap telah melakukan tindakan makar yang membahayakan eksistensi NKRI. Dia berbicara tentang keinginan rakyat Papua untuk merdeka, memisahkan diri dari Indonesia. Menurutnya hingga saat ini kemerdekaan yang hakiki bagi seluruh rakyat di Bumi Cenderawsih adalah sesuatu yang harus terus di perjuangkan.
Kami mewawancarainya dengan sepotong poster perjalanan para pencari suaka dari Papua ke Australia, lengkap dengan gambar bendera Bintang Kejora ditanganya. Suaranya sedikit bergetar dalam wawancara khusus yang singkat itu. Sejujurnya aku sedikit khawatir, pria ini akan segera di tahan setelah tanyangan wawancara ini dimuat. Tapi kantor rupanya tak mau menayangkan liputan itu. Entah, aku harus kecewa atau apa, tapi mungkin saja semua ini ada baiknya juga.
Di Jayapura, mulai dari pusat-pusat perbelanjaan hingga ke pertokoan-pertokoan di sepanjang kota lebih banyak di isi oleh para pendatang yang berseliweran di dalamnya. Di pasar tradisonal, para penduduk asli boleh sedikit ramai ditemui, tapi warung-warung makan dan kios-kios pakaian dan sembako masih tetap di dominasi oleh para pendatang. Lepas dari fakta bahwa masyarakat asli memang telah kalah dalam sebuah pertarungan ekonomi yang benar-benar fair, tapi aroma kesenjangan social dan ekonomi antara pribumi Papua dan kaum pendatang jelas begitu terasa disana.
Aku rasa, pemerintah harus lebih arif dalam melihat tanah dan juga rakyat Papua. Ada dosa masa lalu yang mungkin secepatnya harus dibenahi….jika kita benar-benar tidak ingin kehilangan sejengkal tanah untuk yang kedua kalinya.
Makassar, 9 April 2006 – 17 : 02 Wita
Dua bulan liputan Pilkada Papua dan kasus bentrok yang menewaskan 5 petugas keamanan di Abepura Jayapura, menyisakan banyak hal yang mengendap dalam memori. Tanah Papua, sebuah wilayah subur yang penuh gelora. Menurutku ada “sesuatu” di Papua yang terus bergerak, seperti borok yang kelak meletus dan mengoyak pori-pori.
Di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Cenderawasih, kami menemui seorang pria asli Papua, seorang mantan tahanan politik yang pernah mendekam di penjara selama 16 tahun karena dianggap telah melakukan tindakan makar yang membahayakan eksistensi NKRI. Dia berbicara tentang keinginan rakyat Papua untuk merdeka, memisahkan diri dari Indonesia. Menurutnya hingga saat ini kemerdekaan yang hakiki bagi seluruh rakyat di Bumi Cenderawsih adalah sesuatu yang harus terus di perjuangkan.
Kami mewawancarainya dengan sepotong poster perjalanan para pencari suaka dari Papua ke Australia, lengkap dengan gambar bendera Bintang Kejora ditanganya. Suaranya sedikit bergetar dalam wawancara khusus yang singkat itu. Sejujurnya aku sedikit khawatir, pria ini akan segera di tahan setelah tanyangan wawancara ini dimuat. Tapi kantor rupanya tak mau menayangkan liputan itu. Entah, aku harus kecewa atau apa, tapi mungkin saja semua ini ada baiknya juga.
Di Jayapura, mulai dari pusat-pusat perbelanjaan hingga ke pertokoan-pertokoan di sepanjang kota lebih banyak di isi oleh para pendatang yang berseliweran di dalamnya. Di pasar tradisonal, para penduduk asli boleh sedikit ramai ditemui, tapi warung-warung makan dan kios-kios pakaian dan sembako masih tetap di dominasi oleh para pendatang. Lepas dari fakta bahwa masyarakat asli memang telah kalah dalam sebuah pertarungan ekonomi yang benar-benar fair, tapi aroma kesenjangan social dan ekonomi antara pribumi Papua dan kaum pendatang jelas begitu terasa disana.
Aku rasa, pemerintah harus lebih arif dalam melihat tanah dan juga rakyat Papua. Ada dosa masa lalu yang mungkin secepatnya harus dibenahi….jika kita benar-benar tidak ingin kehilangan sejengkal tanah untuk yang kedua kalinya.
Makassar, 9 April 2006 – 17 : 02 Wita
keluarga mononage
Dua jasad pasangan suami istri itu terbujur kaku, sementara disisi kedua petih jenazah tersebut empat orang anak mereka yang masih belia tak kuasa menahan kesedihan. Ledakan bom di pasar khusus penjualan daging babi Palu Sulawesi Tengah terebut telah merenggut keutuhan keluarga kecil terebut.
Yopi Mononage dan Memeiso, kedua jenazah yang terbujur kaku di peti jenazah tersebut, adalah penjual babi di pasar Maesa Palu. Menurut Wawan, salah seorang putra Yopi dan Memeiso, ada kemungkinan bom tersebut tepat berada dibawah meja tempat kedua orang tuanya berjualan. Yopi dan Meiso, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dengan kondisi tubuh yang hancur pada bagian kaki dan perut.
Sungguh, aku benar-benar diselimuti kesedihan, saat mengabadikan peristiwa pemakaman keduanya dibalik lensa kameraku. Aku berpikir tentang keluarga itu, tentang ke empat anak Yopi dan Memeiso yang masih belia, tentang hari-hari yang mereka lalui selanjutnya. Sungguh peledakan bom di pasar tersebut adalah sebuah kebiadaban.
Ledakan tersebut merenggut tujuh korban jiwa dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Bahkan sebagian diantara korban luka tersebut harus pasrah saat dokter memfonis, bahwa untuk keselamatan jiwa mereka, tak ada jalan lain, kaki mereka harus diamputasi!.
Banyak diantara mereka yang harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Korban lain yang juga pasangan suami istri adalah seorang prajurit TNI yang bernama Tasman dan Istrinya, keduanya meninggal di tempat kejadian, dan meninggalkan dua putra yang masih anak-anak.
Kekerasan di Sulawesi Tengah seperti tak pernah menemukan ujung pangkalnya, mulai dari kasus bom Tentena, pemenggalan dan penembakan siswa SMU di Poso dan yang terakhir adalah ledakan bom di pasar Maesa Palu. Entah siapa yang harus diminta pertanggung jawabannya, sebab teror diilayah ini bergerak seperti hantu….
Palu, Januari 2006
Yopi Mononage dan Memeiso, kedua jenazah yang terbujur kaku di peti jenazah tersebut, adalah penjual babi di pasar Maesa Palu. Menurut Wawan, salah seorang putra Yopi dan Memeiso, ada kemungkinan bom tersebut tepat berada dibawah meja tempat kedua orang tuanya berjualan. Yopi dan Meiso, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dengan kondisi tubuh yang hancur pada bagian kaki dan perut.
Sungguh, aku benar-benar diselimuti kesedihan, saat mengabadikan peristiwa pemakaman keduanya dibalik lensa kameraku. Aku berpikir tentang keluarga itu, tentang ke empat anak Yopi dan Memeiso yang masih belia, tentang hari-hari yang mereka lalui selanjutnya. Sungguh peledakan bom di pasar tersebut adalah sebuah kebiadaban.
Ledakan tersebut merenggut tujuh korban jiwa dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Bahkan sebagian diantara korban luka tersebut harus pasrah saat dokter memfonis, bahwa untuk keselamatan jiwa mereka, tak ada jalan lain, kaki mereka harus diamputasi!.
Banyak diantara mereka yang harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Korban lain yang juga pasangan suami istri adalah seorang prajurit TNI yang bernama Tasman dan Istrinya, keduanya meninggal di tempat kejadian, dan meninggalkan dua putra yang masih anak-anak.
Kekerasan di Sulawesi Tengah seperti tak pernah menemukan ujung pangkalnya, mulai dari kasus bom Tentena, pemenggalan dan penembakan siswa SMU di Poso dan yang terakhir adalah ledakan bom di pasar Maesa Palu. Entah siapa yang harus diminta pertanggung jawabannya, sebab teror diilayah ini bergerak seperti hantu….
Palu, Januari 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)