jalan panjang...

Dulu dimasa kecilku hingga remaja, saya punya banyak sahabat, mereka adalah anak-anak tetangga sekitar rumah di Tidore. Sebut saja beberapa, ada Ucin, Inal, Nyong, Oni, Melky, Berce, Annete dll. Entah dimana mereka sekarang, sebagian diantaranya masih ada, tapi sebagian lagi tak jelas ada dimana. Banyak diantara mereka yang tiba-tiba pergi ketika kerusuhan bernuansa SARA pecah di tanah Maluku.
Saya memang tak ada disana pada masa-masa kerusuhan antar warga tahun 1999 itu, karena sudah kuliah di Makassar. Saya baru pulang ke Tidore tiga tahun kemudian, dan menemukan puing-puing rumah tetangga yang terbakar, juga banyak cerita tentang hal ikhwal kerusuhan di Maluku dan Maluku Utara itu terjadi.
Ketika pulang saat itu, saya merasa telah kehilangan banyak hal, bukan hanya suasana sekitar rumah yang terasa aneh dengan pemandangan sisa-sia kebakaran, tapi saya juga telah kehilangan sebagian dari kenangan masa kecilku. Sebagian dari teman-teman sepermainanku itu entah dimana, kabarnya ada yang pindah ke Halmahera, ada juga yang mengungsi ke Bitung.
Belakangan, kemajuan teknologi kemudian mempertemukan saya dengan sebagian dari mereka melalui situs jejaring sosial, ada rasa yang berbeda, kami saling menanyakan kabar. Meski hanya di dunia maya, tapi saya bahagia menemukan kembali sahabat juga tetangga-tetangga rumah, orang-orang yang telah memberikan warna tersendiri dalam beberapa fase hidup yang pernah saya lalui.

******

Hari senin siang, tanggal 12 September, hampir tiga jam, saya menunggu dengan sabar di bandara Pattimura Ambon, tak ada kendaraan yang bersedia mengantar saya memasuki kota. Para sopir masih khawatir, kabarnya masih banyak jalan yang di blokir warga, dan orang-orang masih diliputi kecemasan serta rasa curiga yang tinggi.
Sekitar jam 5 sore saya baru bisa masuk kota Ambon, setelah menempuh jalur alternatif, menyeberang laut dengan mencarter speedboat dari Wayame ke Tantui. Saya lelah, atau tepatnya lapar karena belum makan seharian, sementara kantor terus menelpon menanyakan di mana posisi terakhir, dan apakah saya sudah bertemu dengan Fahmi atau belum, teman cameraperson Jakarta yang lebih dahulu tiba tadi pagi.
Saya berterima kasih kepada seorang kenalan anggota Brimob Polda Maluku, yang telah menemani saya sejak dari bandara, hingga mengantar saya ke Mako Brimob, dan mencarikan tumpangan di mobil pasukan yang di drop masuk kota.
Sehari sebelum saya tiba di Ambon, dua kelompok warga kembali terlibat bentrokan, pemicu bentrokan setelah seorang tukang ojek tewas dan diyakini warga akibat dibunuh, bukan karena kecelakaan lalulintas seperti yang disampaikan polisi. Dalam insiden itu, 8 orang warga tewas, 200 rumah musnah terbakar, dan sedikitnya 7000 warga mengungsi.
Selama liputan di Ambon, saya bertemu dan berbicara dengan banyak orang. Masyarakat di Maluku sadar, konflik dengan latar belakangan apapun itu, tak membawa keuntungan bagi mereka, justru membuat mereka kian terbelakangan, dan tak bisa menatap masa depan yang lebih baik. Meski sebetulnya, tak bisa dipungkiri, masih ada luka yang belum bisa disembuhkan. Karena itu apabila ada hal-hal yang memicu ingatan tentang konflik Ambon, luka itu bisa kembali terkoyak, lalu berubah menjadi amarah.
Dibeberapa lokasi pengungsian warga, saya melihat anak-anak, kaum perempuan dan lansia yang bertahan dengan kondisi seadanya. Mereka menyimpan trauma, juga sorot mata lelah menatap jalan panjang menuju kehidupan yang rukun dan damai.
Sejarah kerusuhan SARA di Maluku 1999,2004,2006 dan 2011 adalah jejak kelam yang masih terus membekas dan coba mereka hapus ingatannya hingga saat ini. Maka terkutuklah orang-orang yang mencoba bermain di air keruh untuk kepentingan politik dan ekonomi dengan jalan merusak kehidupan damai yang sudah dibangun masyarakat Maluku.

Ambon, 18 September 2011 - 22:00

"Kepada mereka yang telah pergi entah dimana, sahabat-sahabat masa kecil hingga remaja, tetangga-tetangga rumahku di Tidore yang baik hati, kelak angin akan mempertemukan kita. Tak ada yang bisa menghapus kenangan, bahkan perang sekalipun..."

No comments: