Saya masih ingat moment itu, suatu hari di bulan Juni 1998. Ketika itu hari mendekati sore, saya sempat menoleh sebentar ke belakang sebelum naik keatas angkot. Disana ada ayah dan ibu yang berdiri diteras rumah, menatap punggung putra bungsunya yang baru lulus SMA dan bersiap pergi menuntut ilmu ke tempat yang jauh. Makassar menjadi tujuan saya, sebuah kota yang belum pernah saya datangi sebelumnya.
Ada perasaan yang aneh ketika itu, bercampur-campur antara sedih, cemas, galau, juga perasaan gentar untuk pergi meninggalkan rumah. Sudah siapkah saya? hhmmm...tak ada lagi waktu untuk mempertanyakan kembali kesiapan, Bismillah!!, sayapun berangkat, tak menoleh lagi kebelakang, karena saya tahu diteras rumah ada ibu yang menatapku dengan mata sembab, dan ayah yang pura-pura tegar melihat anak laki-lakinya pergi merantau.
Ketika itu ada semacam ikrar di dalam hati , setiap anak yang keluar dari rumah, merantau untuk sebuah niat yang baik, maka ia harus kuat, pokoknya kuat segala-galanya, harus kuat berusaha, kuat belajar, kuat bertarung, biar bisa mandiri, tak bergantung pada siapapun dan tak lagi menyusahkan orang lain, tapi sebaliknya menjadi pribadi yang membawa kebaikan bagi orang-orang disekitarnya.
Sudah cukup lama, cerita itu kurang lebih 13 tahun yang lalu. Sekarang saya sudah menetap di Makassar, tinggal disebuah rumah kecil yang sederhana di pinggiran kota, menikah denganmu, dan telah diberi karunia seorang putri yang cantik. Sungguh, saya selalu syukuri semua itu. Alhamdulilah, semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang pandai mensyukuri semua nikmat Allah.
******
Sekarang kita sama-sama perantau di kota ini, jauh dari keluarga inti kita masing-masing. Kau tentu masih ingat, ketika pertama kali setelah menikah kita pamit dan berangkat ke Makassar, ada mama dan eyang yang melepaskanmu dengan mata berkaca-kaca. Saya menangkap cemas dalam mata mereka, tentang kau yang akan berangkat untuk memulai kehidupan baru. Meski cemas, mereka tetap melepaskan kita dengan banyak doa kebaikan.
Sekarang kita membangun keluarga sendiri, tapi kita hidup jauh dari rumpun keluarga masing-masing, terpisah lautan dan juga hitungan waktu. Saya datang dari kepulauan Maluku di timur, kau dari pulau Jawa di bagian barat, lalu kita hidup di Makassar pulau Sulawesi, yang berada ditengah-tengah Indonesia.Tapi yang jelas, perantauan kita ini membawa kita pada sesuatu yang saya sebut sebagai "meng-Indonesia" hehe..
Malam ini, kita berdikusi, boleh dibilang sedikit banyak berdebat, tentang kita yang jauh dari rumpun keluarga masing-masing. Kau bercerita tentang kerinduan pada tanah kelahiran, dan saya yang menanggapinya dengan sedikit tegang, apalagi obrolan itu tak maksimal karena hanya melalui blackberry messenger.
Tapi akhirnya kita punya kesimpulan sederhana, bahwa dimana bumi dipijak, maka disitu langit dijunjung, bahwa kita akan bersatu padu, bahwa kita akan melalui semuanya dengan penuh semangat, bahwa kita akan terus berjuang sampai tua dan renta, sampai nanti ketika kita pikun dan lupa mengingat nama cucu-cucu kita hehe...
Makassar, 18 April 2011 - 01.30 dini hari
No comments:
Post a Comment