tentang senyuman

Saya tak pernah melihat senyuman seperti itu, ia tersenyum seperti seseorang yang sakit karena menjadi orang yang terlupakan, juga karena ditinggal pergi sahabat-sahabat yang berkhianat dalam perjuangan. Wajahnya murung, meski saat bicara ia selalu berusaha bersikap secara wajar. Sinar matanya terlihat lelah, juga menyimpan kekecewaan yang teramat dalam.
Saya menaruh hormat kepada laki-laki bugis itu, terlepas dari semua penilaian berbeda dari orang-orang yang melihat sosoknya dari sisi yang lain. Tapi saya menaruh harapan besar pada gagasan-gagasannya, juga pada komitmennya pada kemandirian dan bagaimana membangun jati diri bangsa yang jauh lebih bermartabat. Bukan sebuah pemerintahan yang suka mengemis pada ketiak bangsa asing.
Setidaknya seperti itulah pilihan politik saya, dan saya menghormati mereka yang punya pilihan berbeda, sekalipun pilihan politik saya menempatkan saya pada urutan paling minor dalam kalkulasi demokrasi. Toh, Tuhan juga tidak pernah melihat kebenaran berdasarkan suara terbanyak.
Kemarin ia bilang akan pulang kampung, mengurus sekolah, masjid dan juga perdamaian. Jika proses demokrasi ini tak membawanya pada tempat yang ia inginkan. Saya pikir niat seperti itu akan jauh lebih mulia nilainya. Pulanglah pak.., kami tunggu....:)

Makassar, 9 Juli 2009 - 13.30 wita

2 comments:

harwan said...

rindu saya sedikit terobati dengan membaca tulisanta...semoga baik-baik slalu ka'bud.....

budhie said...

makasih Wan..semoga Allah mencurahkan banyak kebaikan buat kita semua...