pesulap tua

Daeng Rate, laki-laki tua dari daerah Pattalassang kabupaten Takalar itu sudah mencoba berbagai macam pekerjaan, mulai dari tukang becak, tukang batu, tukang kayu hingga menjadi tukang parkir. Lalu kemudian ia memutuskan berhenti, dan beralih menjadi seorang tukang sulap keliling. Meski tetap ada embel-embel kata "tukang" didepan pekerjaannya yang terakhir ini, tapi ia mengaku bahagia, karena selain bisa menghasilkan uang, ia juga senang melihat orang lain merasa terhibur.
Tapi dari rekaman gambar itu, saya melihat seraut wajah yang lelah. Lelah mengayuh nasib, melintasi jalan hidup yang penuh liku. Andaikan saja laki-laki tua itu bisa menyulap nasib, tentu ia akan menyulap jalan hidupnya sendiri. Barangkali dengan begitu ia tak perlu lagi berkeliling kemana-mana, dengan menenteng tas yang dipenuhi berbagai peralatan sulap, dan menggantungkan hidup dari saweran para penonton yang menyaksikan pertunjukannya. Kira-kira seperti itu isi pikiranku saat mengedit naskah dan mecermati gambar teman kontributor yang membuat liputan feature tentang balada seorang tukang sulap keliling.
Daeng Rate berkisah, dalam sehari, ia sanggup mendatangi sedikitnya tiga tempat keramaian, untuk mempertunjukan kemampuan sulapnya. Di pasar, di kedai-kedai kopi, warung makan, sekolah, hingga rumah sakit. Kadang jalan kaki, kadang naik angkot. Wajah yang tak lagi muda itu berusaha tetap semangat. Meski ia tahu, bahwa menyulap nasib memang tak semudah saat ia memperagakan bagaimana menghilangkan dan mengadakan kembali bola pimpong yang ia telan.
Seorang Daeng Rate, hanyalah pesulap tua, yang belajar sulap secara otodidak, berkeliling dari satu tempat ramai ke tempat ramai lainnya. Ia hanya memainkan trik-trik sederhana, dan dengan itu orang-orang tak pernah merasa tertipu, melainkan selalu merasa terhibur.
Saya berpikir, negara ini juga banyak memiliki pesulap handal, mereka pesulap kelas tinggi dan berpengalaman, dengan trik-trik luar biasa yang penuh kejutan. Mereka bisa menyulap nasib, menyulap angka-angka statistik, menyulap keadilan, juga tentunya menyulap harga diri. Tapi tak seperti Daeng Rate, aksi mereka sama sekali tak menghibur....

Makassar, 11 Juli 2010 - 16.30

No comments: